A+

6/recent/ticker-posts

Antara "Fraud" dan Kekalutan dalam Kasus Century

Oleh: Kwik Kian Gie, Mantan Menko Perekonomian

Apa yang digambarkan dalam tulisan ini atas dasar pemberitaan, pernyataan dan analisis dari sekian banyaknya orang yang sudah dimuat di berbagai media massa. Kesemuanya itu dirangkai dalam beberapa gambaran dan pertanyaan.

Dengan tidak adanya blanket guarantee di Indonesia, tetapi jaminan maksimum Rp 2 miliar per rekening, menaruh uang dalam jumlah besar, terutama di bank kecil sangat berbahaya. Tetapi, Bank Century yang begitu kecil dimasuki dana simpanan dalam jumlah sangat besar oleh beberapa deposan besar.

Mengapa berani menempatkan uangnya pada bank yang demikian kecil? Karena ada maksud tertentu yang tidak sesuai dengan praktik bisnis yang wajar atau karena ada motif politik tertentu. Mereka merasa aman, karena deposan mempunyai hubungan khusus petinggi negeri ini.

Dugaan mereka ternyata benar. Century rusak karena uang simpanan para deposan besar dicuri atau digelapkan para pemegang sahamnya sendiri. Century disuntik oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) empat kali hingga sejumlah Rp 6,76 triliun. Dari jumlah ini Rp 3,8 triliun dipakai untuk menutupi penarikan deposan besar (SP, 31 Agustus 2009).

Media lain menyebutkan, Direktur BI bidang Pengawasan Bank mengungkapkan bahwa, "Rp 5,7 triliun dari Rp 9,63 triliun ditarik dari Century antara November dan Desember 2009."

Bukankah ini sudah bukti bahwa penyuntikan dana ke Century tidak untuk menghindari kerusakan perbankan dan perekonomian yang sudah "sistemik", tetapi untuk menelikung peraturan jaminan maksimum yang hanya Rp 2 miliar per rekening. Tujuannya, supaya deposan besar tetap bisa menarik depositonya dalam jumlah besar.

Bagaimana Seharusnya?

Kalau motifnya murni untuk menyelamatkan bank dan perekonomian nasional dengan cara menghindari efek domino, tindakan pemerintah bisa sebagai berikut, semua tagihan dari bank dibayar sepenuhnya, semua tagihan lainnya dibayar sampai jumlah maksimum Rp 2 miliar sesuai peraturan yang berlaku, selanjutnya Bank Century dilikuidasi. Tolong dibantah mengapa kebijakan seperti ini tidak bisa dilakukan dan tidak dilakukan?

Pada satu saat yang krusial, Wapres Jusuf Kalla (JK), yang dalam kasus Century ini bertindak sebagai Presiden ad interim (a.i.), pada 25 November 2008 dilapori Gubernur BI Boediono dan Menteri Keuangan merangkap Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati tentang penyuntikan dana ke Century. Dari pembicaraan itu JK langsung menyimpulkan, rusaknya Century karena perampokan uang yang ada di bank
itu oleh para pemegang sahamnya sendiri.

Maka, JK langsung mengatakan penyuntikan dana yang sudah dilakukan itu salah kaprah. JK justru minta Boediono melaporkan kepada Polri dan menangkap pemegang saham Century, yakni Robert Tantular. Boediono menolak dengan alasan tidak mempunyai landasan hukum untuk itu.

Sebagai Presiden a.i., JK langsung memerintahkan Polri untuk menangkap Robert dan memprosesnya lebih lanjut. Ternyata, baik Polri maupun Kejaksaan menemukan dasar hukum yang kuat untuk menuntutnya di pengadilan. Perkaranya kini sedang disidangkan, dengan tuntutan hukuman penjara 8 tahun dan denda Rp 50 miliar.

Dari rangkaian fakta tersebut, kita layak mempertanyakan bagaimana Boediono, yang kini menjadi wapres terpilih mempertanggungjawabkan kasus itu? Bolehkah Boediono menolak perintah Presiden walaupun BI independen? Bukankah Gubernur BI yang dipilih oleh DPR hanya mungkin dari calon-calon yang diajukan oleh Presiden? Bukankah kewenangan JK pada 25 November 2008 adalah sebagai Presiden a.i., karena Presiden SBY sedang berada di luar negeri? Berbagai pertanyaan tersebut, adalah menyangkut
aspek yuridis dan tata kelola pemerintahan.

Berikut ada sejumlah pertanyaan kritis seputar kasus Bank Century.

Apakah bank bekerja pada Minggu?

Dari kronologi yang disampaikan, penyuntikan dana dilakukan pada 23 November 2008, yang adalah Hari Minggu. Bagaimana prosesnya secara teknik perbankan? Apakah demikian mendesak kalau motifnya penyelamatan perbankan dan perekonomian nasional? Bukankah urgensinya karena deposan besar harus bisa secepatnya menarik uangnya yang tidak dibatasi Rp 2 miliar per rekening?

Mengapa Burhanuddin Abdullah dipenjara?

Burhanuddin Abdullah ditangkap, diadili, dan divonis 6 tahun penjara. Apa sebabnya? Karena selaku Gubernur BI, dia membubuhkan tanda tangannya untuk pencairan dana Rp 100 miliar yang dianggap koruptif. Satu rupiah pun tidak ada yang dinikmatinya. Maka paling-paling dia dianggap gegabah, bodoh, atau solider yang kebablasan.

Kalaupun tidak ada motif kecurangan material atau finansial, begitu banyak tanda tangan yang ada kaitannya dengan suntikan dana Bank Century yang mencapai Rp 6,7 triliun itu, tentu jauh melebihi kasus yang menimpa Burhanuddin Abdullah dan sejumlah koleganya.

Apakah benar negara tidak dirugikan?

Dikatakan bahwa keuangan negara tidak dirugikan karena dana talangan Century tidak berasal dari APBN, tetapi dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bukankah uang Rp 100 miliar yang dijadikan landasan penghukuman Burhanuddin Abdullah dan kawan-kawannya juga tidak dari APBN? Mengapa pencairan uang yang sudah dipisahkan dari BI untuk dimasukkan ke dalam sebuah yayasan, pelakunya dihukum? Siapa yang dianggap dirugikan? Apakah tidak bisa dianalogikan pengucuran bailout dari LPS ke Century, dengan kasus yang menimpa Burhanuddin, sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Century juga harus dimintai pertanggungjawaban hukum?

Huruf-huruf harafiah versus substansi.

Menkeu Sri Mulyani berpendapat, tidak peduli apa sebab kerusakan sebuah bank, kalau sudah dianggap berdampak sistemik harus disuntik dana secukupnya (yang notabene dipakai untuk membayar deposan besar supaya bisa mendapatkan kembali uangnya secara utuh, karena sudah dicuri pemegang saham Century).

Anggota DPR Dradjad Wibowo berpendapat, bank yang kolaps karena dikelola secara sembrono, dan dimanfaatkan pemegang saham secara tidak wajar dan terindikasi penipuan, tidak perlu diselamatkan dengan alasan apapun.

Sedangkan mantan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyesalkan lembaga negara yang seharusnya mengawasi dan mensupervisi perbankan, malah saling lempar tanggung jawab. Persoalan ini bukan hanya menyangkut penyelamatan sebuah bank atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis, tetapi sudah menjadi kebijakan pengelolaan aset negara.

Lantas, mana yang relevan bagi pengaturan negara? Main pokrol dengan tafsiran harafiah semata, ataukah menafsirkan segala sesuatunya atas dasar substansi dan fakta?

Gagasan blanket guarantee yang ditolak.

Sebelum kerusakan Century, ada gagasan supaya pemerintah memberikan penjaminan secara penuh (blanket guarantee) kepada semua deposan di Indonesia. Kalau tidak, masyarakat tidak percaya lagi kepada bank-bank di Indonesia, di tengah guncangan lembaga keuangan di seluruh dunia akibat krisis finansial di AS kala itu. Usul penjaminan penuh itu datang dari Boediono dan Sri Mulyani. Sebaliknya, JK menentang sangat keras.

Akhirnya terjadi kompromi, penjaminan hanya sebatas Rp 2 miliar per rekening.

Benarkah bukan "domain" Presiden?

Mensesneg Hatta Rajasa mengatakan, Presiden tidak mau mencampuri urusan Century, karena urusan ini tidak termasuk di dalam domain-nya. Apa ada urusan dalam sebuah negara yang bukan monarki konstitusional, yang republik, dan lebih-lebih lagi yang sistemnya presidensial, seorang presiden tidak boleh ikut campur dalam urusan dan persoalan yang ada dalam domain pejabat lain?

Apakah ada penyelenggaraan negara yang tidak chaotic (semrawut) kalau pemisahan ke dalam yudikatif, eksekutif, dan legislatif ditafsirkan secara mutlak total tanpa adanya bidang-bidang singgungannya?

Inilah pertanyaan-pertanyaan kritis, untuk memberi perspektif yang lebih mendalam di dalam kita menyikapi dan mengkritisi kasus Bank Century yang terus bergulir hebat. *

Posting Komentar

0 Komentar