A+

6/recent/ticker-posts

Ribuan Petani Terusir dari Lahan Garapan, Kini Terlunta-lunta dan Anak-anak Tak Dapat Belajar

A+ | Jakarta - Sebanyak kurang lebih 2000 petani penggarap lahan mengaku terusir dari lahan dan tempat tinggalnya setelah diintimidasi oleh sekelompok orang, bahkan ada juga oknum aparat bersenjata. Sehingga selain kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal, anak-anak juga terganggu proses belajarnya.

Hal itu terungkap saat redaksi menjumpai sejumlah perwakilan petani yang didampingi kuasa hukum mengadu ke Komnas HAM di Jalan Latuharhari Jakarta Pusat, pada Senin (31/08/2020).

Hal mengenaskan itu menimpa para petani penggarap di Desa Batulawang Kecamatan Cipanas, Desa Sukanagalih Kecamatan Pacet, Desa Cibadak Kecamatan Sukaresmi, yang ketiga desa tersebut di wilayah Kabupaten Cianjur.

Dalam keterangan mereka, diungkapkan terdapat sekelompok orang yang melakukan intimidasi. Hal itu menyebabkan mereka merasa trauma terlebih kaum wanita dan anak-anak.

Intimidasi itu diduga - menurut keterangan para petani, adalah atas perintah PT. Maskapai Perkebunan Moelia (MPM).

Di Kantor Komnas HAM, sedianya mereka mengadukan permasalahan dan meminta perlindungan hukum. Perwakilan petani didampingi kuasa hukum H. Muhammad Sirot, S.H, S.I.P diterima Staf Penerima Pengaduan Komnas HAM, Nur Hidayah.

Menurut keterangan Pengacara/ kuasa hukum para petani, H.M. Sirot, dengan telah ditelantarkannya dan tidak digarapnya lahan HGU Nomor 12 s/d 26 milik PT Maskapai Perkebunan Moelia, maka pihak Kanwil BPN Jawa Barat telah memberikan tiga kali Surat Peringatan kepada PT MPM. "Namun peringatan tersebut tidak diindahkan," ujar Muhammad Sirot.

Dengan telah diberikannya tiga kali Surat Peringatan kepada PT. MPM sebagai pemegang/pemilik HGU Nomor 12 s/d 26 yang terletak di Desa Batulawang Kecamatan Cipanas, Desa Sukanagalih Kecamatan Pacet, Desa Cibadak Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Cianjur maka oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur dan Kanwil BPN Jawa Barat telah diusulkan kepada Menteri ATR/ BPN RI sebagai tanah terlantar.

"Tanah HGU PT Maskapai Perkebunan Moelia tersebut pada tanggal 5 Desember 2018 oleh kanwil pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat sudah dinyatakan dalam keadaan status quo sejak tanggal pengusulan yaitu 10 April 2012," terang Sirot.

Muhammad Sirot selaku tim kuasa hukum/pendamping para petani mengungkapkan, permasalahan  para petani dengan PT MPM telah dimediasi oleh kementerian ATR/BPN dan diputuskan apabila PT. MPM akan memperpanjang HGUnya maka harus memberikan sebagian lahan HGUnya kepada para petani. Akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh PT MPM.

"Akan tetapi yang dilakukan oleh MPM mengambil alih lahan milik para petani," ujar Sirot.

Diantara upaya paksa mengusir  para petani dengan cara  paksa, diungkapkan bahwa terjadi perusakan rumah  tinggal para petani penggarap, jalan akses ke rumah mereka ditutup dengan dinding dan kawat berduri, serta saluran air bersih diputus. "Jadi praktis para petani penggarap tidak bisa kembali ke rumahnya," ujar Sirot.

Diduga kuat,  intimidasi PT MPM kepada para petani karena sertifikat HGU akan berakhir beberapa bulan lagi, dan ada yang 1 (satu) tahun lagi, sehingga mereka memaksa  untuk mengosongkan lahan.

Nur Hidayah staf Penerima Pengaduan Komnas HAM mengungkapkan bahwa pertemuan pada hari ini adalah sifatnya menerima pengaduan. Ia akan membawa aduan para petani itu ke komisioner guna dilakukan pengkajian dan akan direspon dalam waktu 2 Minggu kerja.

Merespon hal tersebut, inisiator FORWARD (Forum Wartawan Digital), Mahar Prastowo, mengajak sejumlah wartawan untuk melihat dan meliput langsung fakta di lapangan, guna mendapatkan informasi berimbang.

"Kita besok akan ajak teman-teman wartawan melihat langsung ke lapangan, agar mendapatkan keterangan berimbang dari pihak-pihak bersengketa, maupun dari aparat yang melakukan penjagaan di lokasi guna menghindarkan konflik fisik kedua pihak," ujar Mahar.

Mahar juga berharap agar mediasi para pihak bersengketa dapat dilaksanakan dengan menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan di depan hukum maupun musyawarah mufakat, sehingga tidak menimbulkan gejolak.

"Kita berada pada situasi pandemi Covid-19 yang butuh pengerahan sumberdaya ekstra untuk pencegahan dan penularannya. Belum lagi ekskalasi politik menjelang pilkada serentak, jangan sampai ini menimbulkan gejolak dan jadi alat politik pihak tertentu yang mengakibatkan situasi tidak kondusif," terang Mahar, pegiat jurnalisme pembangunan yang pernah menjadi ghostwriter untuk Presiden Joko Widodo sejak menjabat Walikota Solo. [gi]

Posting Komentar

0 Komentar