A+

6/recent/ticker-posts

Mau Jerat Anies Malah Tunjukkan Kedunguan? Dari Covid-19 Hingga Giselvid-19, Anjing Banget!



A+
|  Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) DR. H. Muhammad Rizieq Shihab, Lc, M.A, akhirnya tetap kembali ke tanah air atas desakan para pendukungnya, yang termakan "bisikan" terus-menerus pembencinya. Mereka berkepentingan memulangkannya karena ingin "menghentikan" aksi-aksi revolusi akhlak amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukannya.

Kan bisa berabe kalau revolusi akhlaknya berhasil, nanti akan ada kesadaran masyarakat bahwa korupsi itu musuh bersama, maksiat itu mengundang bencana dan sebagainya.

Tapi yang mau kita bahas kali ini bukan Sang Imam Besar yang saya pernah dikaitkan dengan aktifitasnya pada periode 2011-2012 kala beliau di hadapan Menhan mewacanakan jihad di Papua melawan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Melainkan mau membahas ekses dari kedatangannya, aktifitasnya, yang menyeret Ketua Persatuan Gubernur Kepala Daerah Seluruh Indonesia, DR. H. Anies Baswedan, Ph.D., yang notabene Gubernur DKI Jakarta.

Selasa, 17 Nopember 2020, Gubernur DKI Jakarta yang merupakan Ketua Forkopimda, dipanggil dan dimintai keterangan oleh bawahannya di Polda Metro Jaya. Ini kalau merujuk posisinya sebagai Gubernur yang merupakan ketua Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) termasuk memimpin Kapolda dan Pangdam, silakancek UU No. 23/2014 Pasal 26 ayat 2 tentang posisi Gubernur. Itu kalau belum dianulir UU Omnibus Law yang kemudian dinamai UU Cilaka.

Terseretnya Gubernur DKI Jakarta DR. H. Anies Baswedan, Ph.D,  berkaitan dengan kasus pelanggaran protokol kesehatan oleh massa penyambut DR. H. Muhammad Rizieq Shihab, Lc, M.A, yang dinilai membuat kerumunan dari sejak penyambutan, hingga menggelar acara open house, hajatan resepsi pernikahan hingga acara groundbreaking masjid di Megamendung, Bogor.

Tak hanya Gubernur DKI Jakarta saja sebenarnya yang kena getah, namun juga Kapolda Metro Jaya, Kapolres Jakarta Pusat dan Barat, serta Kapolda Jawa Barat. Tak hanya dimintai keterangan, Kapolri sudah sudah mencopot mereka karena dianggap gagal mengamankan dan melakukan cipta kondisi supaya tak terjadi kerumunan.

Sebenarnya beberapa poin yang mau dibahas sudah dijelentrehkan oleh akun @tatakujiyati sehingga tak lagi perlu berpanjang lebar, cukup kita angetin  dan bumbui ulang saja.

Pem-bully-an terhadap Gubernur DKI Jakarta terkait protokol kesehatan, ialah sejak pemerintah pusat atau kabinet Jokowi tersinggung karena Sang Gubernur bersicepat dan tanggap dalam menghadapi persebaran Covid-19 yang awalnya saya sangka Communist Virus Disease ternyata Corona Virus Disease. Saat itu UU Karantina Kesehatan tak diberlakukan dengan persangkaan publik karena kalau diberlakukan maka pemerintah akan menanggung risiko keuangan guna pemenuhan kebutuhan warga. Sebagian lagi menyangka karena persebarannya baru di beberapa daerah saja, belum meluas jadi belum bisa dilakukan kebijakan keras berupa pengerahan sumber daya tak terbatas alias penyedotan sumber keuangan untuk penanganannya. Tetap saja itu hanya persangkaan. Bahwa kemudian ternyata benar itu karena sedang beruntung saja tebakannya benar, yaitu dengan munculnya UU Corona yang sangat ampuh melindungi pemerintah pusat dan daerah karena sampai tahun 2022 segala penggunaan keuangan untuk penanganan Covid-19 tak dapat digugat secara perdata maupun pidana. Kok enak temen, ya? Hampir 1000 trilyun, lho.

Kebijakan keras dan tegas Anies pun turut melunak seiring dengan pegangan pusat dalam penanganan Covid-19 yang bukan memakai UU Kekarantinaan Kesehatan, melainkan PP 21 Tahun 2020 yang menghasilkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akhirnya, berpegang pada PP 21/2020 tersebut  Pemprov DKI Jakarta mengajukan PSBB dan mendapat persetujuan Menkes, dan menerbitkan Pergub No.380/2020 tentang Pemberlakukan PSBB di DKI Jakarta yang juklaknya ditetapkan dengan Pergub No. 33/2020. Baik pusat, maupun sebagian publik yang lebih merasa penting membully Anies ketimbang memikirkan keselamatan jiwa, mempertanyakan mengapa PSBB di DKI Jakarta lebih ketat? Karena mereka melihat ketentutan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan itu hanya mengatur tiga (3) hal yaitu Peliburan sekolah & tempat kerja, Pembatasan kegiatan keagamaan, Pembatasan kegiatan di tempat/ fasilitas umum. Anies membuat kebijakan awal yang melampaui itu semua guna melakukan pencegahan dan menekan angka penularan. Ini data kebijakan Anies yang dalam bahasa lawan politiknya progresif revolusioner, silakan klik DI SINI.

Dari data statistik yang ditampilkan web Corona DKI Jakarta, juga tampak transparansi yang membuat publik selain tahu apa yang dilakukan Gugus Tugas Covid-19 DKI Jakarta, juga merasa lebih tenang karena tahu keadaan dan ada pendampingan melalui layanan deteksi dini penularan Covid-19 hingga rujukan dan berbagai langkah yang harus dilakukan warga.

Tak hanya membatasi saja, Pemprov DKI juga memfasilitasi warga yang semuanya terdampak dengan kebijakan PSBB. Mulai dari bansos sampai penyediaan masker, disinfektan, bahkan penggunaan moda transportasi umum yang tetap beroperasi namun dengan protokol ketat yang diatur melalui Pergub No.79/2020 Tentang Pelaksanaan PSBB Pada Masa Transisi. Didalamnya memuat antara lain kegiatan ibadah dibatasi 50% kapasitas dengan  terapkan protokol kesehatan, pengukuran suhu tubuh, jaga jarak fisik minimal 1 meter antar pengguna tempat ibadah, disinfeksi.

Itu sebabnya dari 34 Provinsi ada 5 yang dianggap progresif menerapkan protokol kesehatan, namun Jakarta dinilai paling progresif menerapkan berbagai kebijakan melindungi warga sebagaimana rekomendasi dan standard WHO. Cek DI SINI ya.

Dan makin membuat pengen nyinyir terus, karena ternyata Jakarta selalu well prepared menghadapi segala situasi. Asu tenan! Kata pembenci Anies. Bagaimana tidak well prepared, dan nggak asu banget eh anjing banget macam Odading, sistem informasi guna koordinasi antar RS bagus, faskes lengkap, para ahli dimintai perannya sesuai kapasitas (bukan asal populer lalu dijadikan penyebar hoax).

Hasil dari leaderhsip Anies - GubDKI - membuat  kasus Covid-19 di Jakarta lebih terkendali dan di masa PSBB transisi sampai 22 Nopember mendatang, grafik kasus Covid-19 menunjukkan tren  mendatar, bukan meroket. (terpaksa menyebut roket supaya tak ada yang tersinggung merasa tak disebut). Bisa baca grafik? Baca DI SINI

Masa PSBB Transisi ini yang diatur oleh peraturan ini membolehkan kegiatan kumpul di tempat/ fasilitas umum namun dengan  pembatasan seperti pengunjung dibatasi 50% dari kapasitas, pengunjung wajib pakai masker, wajib menyediakan sarana cuci tangan, aturan waktu kunjungan, pembatasan jarak interaksi fisik  minimal 1 meter antar pengunjung.

Guna mengantisipasi kegiatan warga yang berpotensi membuat kerumunan itu, termasuk kampanye pilkada, penyambutan orang penting seperti kasus DR. HRS, kampanye pilkada dan sebagainya juga sudah diterbitkan aturan ini. Adapun perizinan menyelenggarakan keramaian itu ranah kepolisian sebagai pihak yang mengeluarkan izin. Ups, sebenarnya bukan izin, tapi pihak penyelenggara memberitahukan ke kepolisian dengan surat pemberitahuan. Wabilkhusus kasus di kediaman DR. HRS diketahui Pemprov DKI sudah bertindak proaktif dengan mengirim surat peringatan melalui Walikota, sebagai perhatian dan kepedulian pemerintah kepada warganya melalui surat ini.

Alhasil,  200 petugas Satpol PP DKI yang diterjunkan mengawasi & menertibkan jika ada pelanggaran, tak dapat berbuat banyak dengan adanya massa yang berjumlah sangat banyak. Akhirnya mereka pun lebih memilih sikap asertif dengan melaungkan himbauan, bersama para petugas lain yang juga bertugas sebagai gugus tugas Covid-19 dari beragam unsur termasuk TNI dan Polri.

Karena tuan rumah pun juga tak menyangka bakal seramai itu dan  terjadi pelanggaran, tuan rumah pun dikenai  sanksi berupa denda sesuai Peraturan Gubernur, yaitu Rp 50.000.000 dan langsung dibayar sehingga Ketua Gustu Covid-19 Doni Monardo mengapresiasi hal tersebut.

Apa yang dilalui Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta dan dianggap melanggar protokol kesehatan, merupakan kasus ke 289, namun 288 kasus sebelumnya adem-adem saja. Itu karena Anies lain dari yang lain. Alam sedang menyeleksinya dan lawan politik secara tidak langsung sedang mempersiapkannya menjadi pemimpin tangguh yang disiapkan memegang kekuasaan lebih besar.

Sebagai kepala daerah, pimpinan gugus tugas di daerahnya, lazimnya Anies yang memanggil para pihak pelaksana kebijakannya, bukannya dia yang dicecar 33 pertanyaan dan jadi laporan 23 halaman dalam waktu 9 jam. Tapi jangan heran, memang dalam beberapa tahun ini serba terbalik. Terbiasa memaki dengan sebutan kampret akhirnya malah jadi terbalik beneran logikanya seperti posisi kampret kalau sedang istirahat, kepala di bawah. Mungkin menyadari itu, sekarang kampret diganti kadrun (kadal gurun) yang konon khasiatnya bisa bikin besar, panjang, keras dan tahan lama. Cie cie... Pengen ya...

Kembali ke soal pemanggilan Anies oleh Direskrimum Polda Metro Jaya, yang merupakan surat pemaksaan (pemanggilan kurang dari 24 jam), lazimnya Surat Panggilan itu 3x24 jam menurut pasal 227 KUHAP. Kecuali panggilan janjian kencan dengan WIL di MiChat. Tapi kok ya mau datang, ya? Apakah karena Anies ingin membantu aparat bekerja cepat dan efisien? Bagus lah kalau begitu, dipanggil bawahan saja mau, seperti sigapnya ketika ia mendatangi rakyat yang kebanjiran, mengalami kesusahan dan sebagainya.

Panggilan oleh Polisi kepada Anies dengan dugaan pidana tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan & menghalang-halangi penyelenggara kekarantinaan kesehatan, sehingga  menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, mengacu kepada  UU Kekarantinaan Kesehatan & Pasal 216 KUHP. Kenapa tidak memakai PP soal PSBB, ya? Dan anehnya lagi, Anies kan pimpinan penyelenggara kekarantinaan kesehatan, bukan panitia acara? Ini jelas berbeda kasusnya dengan wakil ketua DPRD Tegal yang jadi tersangka karena jadi panitia penyelenggara acara dangdut.

Seringkali masyarakat dihadapkan pada keanehan, kelucuan, ketidakbecusan penyelenggaraan negara, ini maksudnya apa? Untuk menjilat ke penguasa/atasan, atau justru sengaja dilakukan untuk mencitrakan kepemimpinan Jokowi amburadul? Supaya Jokowi lekas tumbang? Sabar lah kawan, tak perlu ditumbangkan di tengah perjalanan atau kursinya digergaji sendiri agar peralihan kekuasaan tak perlu lewat pemilu sehingga partai dan oligarkinya tetap berkuasa terus. Karena kalau gagal, justru akan hilang tak hanya kekuasaan tapi juga kesempatan. Belajarlah dari kudeta 1965, ingin mencengkeram kekuasaan terus tanpa pemilu dengan cara mengkudeta kekuasaan sendiri, malah berakibat fatal dan harus menunggu 32 tahun untuk bisa bangkit kembali.

Lebih baik selesaikan yang di depan mata, misalnya soal kedunguan seputar Covid-19 yang obat mujarabnya untuk menurunkan angka kematian ternyata bukan dengan obat atau vaksin, tapi dengan ucapan @Moeldoko81. Atau tuntut pengunggah Giselvid-19 yang hanya 19 detik dengan tuntutan video yang asli Gisel, bukan yang palsu. Bukankah sejak era kaset pringan hitam, kaset pita dan CD ada perlindungan terhadap segala bentuk pemalsuan dan pembajakan? YLKI harus turun tangan dengan UU perlindungan konsumen, lindungi konsumen dari video gisel palsu.

Ohya, kalau pemanggilan terhadap Anies Baswedan dirasa kurang dan belum bisa menjeratnya, sekadar usul saja mungkin perlu dikirim surat panggilan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menggerakkan orang berkerumun? Bagaimana, usulan usil terakhir, kurang anjing, nggak?


17112020

* Penulis adalah Praktisi PR, Agpro dan Editor surat kabar, penggagas Jurnalisme Mantera dan Penulis Satire, pernah tersesat jadi penulis pencitraan Pak Joko (sudah taubat), penjelajah pulau-pulau terluar

Posting Komentar

0 Komentar