![]() |
Foto: Serikat Petani Indonesia |
Essai Mahar Prastowo
Kampung Cirahab — ketika pagi tiba, embun masih setia di daun-padi, suara burung menggema, dan aliran jernih dari sumber tua mengalir ke sawah-sawah. Air bukan sekadar cairan. Air adalah tabungan kehidupan. Bukan tabungan bank, tetapi tabungan anak-cucu.
Masyarakat di Desa Curugoong telah lama menggantungkan hidupnya pada sumber air ini: mandi, minum, menyirami padi, dan menjaga keseimbangan alam. Negara mungkin boleh berpangku tangan sedikit — cukup menjaga agar air itu tak dicuri oleh orang yang tak punya rasa malu.
Namun sejak muncul rencana pendirian pabrik oleh PT Tirta Investama—operator merek Aqua Danone—kehidupan sungguh terasa digoyang. Karena di mata warga, ini bukan sekadar investasi; ini adalah ancaman. Ancaman atas hak asasi: hak atas air.
“Tuhan Baru” dan Uang yang Datang
Ada kalimat dalam pernyataan umat setempat yang tajam: mereka merasa sudah punya Tuhan yang memberi air. Namun kini muncul “tuhan baru” yang akan mengubah anugerah menjadi ekonomi. “Siapapun yang akan menikmati tidak cukup mengucapkan ‘bismillah’, dan usai memanfaatkan air hanya cukup mengucapkan ‘alhamdulillah’.”
Logikanya sederhana, tetapi pedas: bila air diambil sebagian besar untuk keperluan perusahaan, lalu masyarakat hanya mendapat sisa, sedangkan bonusnya diraup orang luar — maka mereka tak mau. Siapa yang rela, sawah-sawah yang dulu terairi kini kering karena diambil oleh "orang yang mementingkan perutnya sendiri"?
Perlawanan yang Tumbuh
Sejak rencana pendirian pabrik muncul (mulai direncanakan sejak 1998) warga sudah gelisah. Tak menunggu sampai terjadinya kekeringan tampak — kebetulan atau tidak, tapi intuisi mereka benar: sumber air akan dihisap.
Perusahaan melakukan pendekatan: bakti sosial, qurban, pengajian. Ada warga yang luluh karena materi. Tapi banyak yang hati-hati. Mereka sadar bahwa ini bukan soal bantuan sesaat, tetapi masa depan. “Siapakah yang tega saat lingkungannya kering kerontang tak berair?” tanya warga.
Akhirnya, pada Minggu 5 Desember 2010 mereka bergerak: aksi solidaritas di lokasi pembangunan pabrik, di kampung mereka sendiri. Sebuah tanda bahwa mereka tak mau hanya diam.
Antara Birokrasi & Kapital
Warga menuding bahwa birokrat lokal telah digoda. Uang, kekuasaan, rayuan investasi — semua bermain. Namun menurut mereka, persetujuan yang diambil birokrat tak tulus: “Kami yakin persetujuan birokrat tidak tulus. Tapi karena materi dan nafsu kekuasaan.”
Di sini terletak dilema besar bangsa: ketika hak rakyat atas sumber daya alam dipertaruhkan melawan investasi korporasi internasional yang punya daya tawar besar, siapa yang akan menang? Apakah modal dan jaringan akan selalu menenggelamkan suara rakyat kecil?
Menuju Pilihan yang Lebih Dalam
Saya berjalan di pinggir sawah Cirahab, melihat jejak traktor yang tak biasanya di situ — pertanda pembangunan besar mendekat. Petani-petani menatap langit, menatap mata air. Ada harapan, ada kegelisahan.
Satu hal jelas: ini bukan sekadar kasus lokal. Ini adalah mikrokosmos dari persoalan nasional: air sebagai hak asasi, sumber daya yang tak boleh diabaikan, dan korporasi yang harus ditata agar tak mengambil alih kehidupan.
Jika saya boleh memberi saran: pemerintah daerah, investasi, dan masyarakat harus duduk bersama — bukan hanya di meja resepsi setelah izin, tetapi sejak awal, di lapangan, mendengar suara air, mendengar suara petani, mendengar suara anak-cucu. Karena bila air habis, bukan hanya seribu hektar sawah yang kehilangan — kita semua yang akan kehausan.
![]() |
Foto: Duniaimajinalwp |
#aquadanone #aqua #danone #danonewater #maharprastowo #essai
0 Komentar