Dear Bapa Paus Fransiskus Jorge Mario Bergoglio di Vatikan.
Apa kabar, Pak? Sehat?
Alhamdulillah. Saya selalu mendoakan kepada Allah agar orang-orang baik
seperti anda selalu diberikan kesehatan. Selalu diberikan kemujuran juga
kekuatan untuk terus memberikan yang terbaik bagi umat manusia.
Teladan, dengan aksi nyata, barangkali adalah hal yang paling dibutuhkan
peradaban dunia modern. Ketimbang kutipan-kutipan ayat, seruan perihal
ibadah atau bahkan jaminan surga. Manusia butuh kebaikan hari ini. Bukan
sekadar janji, yang bisa jadi salah, di hari akhir nanti.
Bapa Frans, bolehkah saya memanggil anda demikian? Saya ingin lebih
akrab dengan anda. Barangkali anda suka kopi? Saya pribadi lebih suka
susu stroberi dingin. Apalagi dengan Pocky coklat pisang. Apakah anda
pernah coba itu Bapa Frans? Pocky coklat dan susu stroberi dingin bisa
jadi kudapan segar untuk anda nikmati di hari-hari musim panas Vatikan.
Anda tentu bisa saja memesan gellato, tapi cobalah makan Pocky coklat,
atau kue cucur mungkin? Kue dari Indonesia yang terkenal legit dan
nikmat. Well, kita semua butuh piknik sesekali, bukan? Merasakan hidup
dan menikmati sedikit berkah Tuhan.
Tapi, bukan untuk itu saya menulis ini, Bapa Frans. Seperti yang
(barangkali) anda sudah ketahui, Indonesia, negeri di mana saya tinggal,
merupakan negeri dengan populasi penganut ajaran Islam terbesar di
dunia. Sayangnya, tidak semua orang yang mengaku Islam tadi adalah
muslim.
Kebanyakan mereka hanya berhenti pada tataran mualaf. Orang yang baru
masuk dan belajar menjadi muslim. Mengapa saya sebut demikian? Karena
banyak dari orang-orang berlabel Islam pada KTP tadi hanya berhenti
menjadi manusia yang beribadah lima kali sehari, naik haji jika punya
uang, puasa jika ramadhan, sholat berjamaah seminggu sekali di masjid.
Namun mereka gagal menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain.
Agak keras? Tidak juga, Bapa Frans yang baik. Jika orang orang yang
mengaku muslim tadi sadar akan sejarah agamanya sendiri, paham akan
makna ajaran agamanya sendiri dan mengerti konsep utama dari agamanya
sendiri, barangkali ia akan menjadi anda. Menyadari bahwa kesalihan
sosial lebih penting daripada liturgi. Bahwa ritus adalah perkara
keyakinan masing-masing. Ia tak perlu ditunjukkan, tak perlu
disombongkan dan yang jelas tak perlu dipaksakan kepada orang lain.
Barangkali mereka yang merasa perlu menunjukkan keyakinan mereka adalah
orang yang sebenarnya dipenuhi kelemahan atas imannya sendiri.
Seperti anda, saya juga tak percaya konversi keyakinan. Colek saya jika
salah, bukankah anda dalam wawancara bersama la Reppublica mengatakan
jika proselytism adalah omong kosong?
Bagi saya, usaha konversi keyakinan adalah usaha untuk merebut keyakinan
seseorang. Tak penting siapa utusan yang dipilih oleh Tuhan untuk
membawa pesanNya. Entah itu Musa, Isa (atau Yesus) atau Muhammad. Yang
penting, apakah kau menerima pesan yang ia sampaikan? Sayang sekali,
banyak manusia yang mengaku beragama, termasuk muslim, gagal paham
pernyataan anda. Melulu, mereka pikir status dan label agama lebih
penting daripada kesalehan sosial.
Barangkali, di antara kesibukan Bapa Frans yang baik, sudilah kiranya
datang ke Indonesia. Mengajari kami umat Islam di Indonesia bagaimana
caranya menjadi muslim yang baik. Karena saya menemukan lagi apa arti
muslim dalam laku hidup dan sikap yang Bapa Frans lakukan.
Menjadi muslim adalah menjadi rendah hati, toleran, saling menolong,
terbuka, dan tulus juga iklas. Anda, pada beberapa derajat, lebih muslim
daripada orang Islam sendiri. Mungkin dengan kehadiran Bapa Frans yang
mulia, mereka, manusia-manusia yang mengaku Islam tapi jumud berpikir
sempit, bisa belajar menjadi manusia di antara manusia terlepas apapun
keyakinannya.
Saya gemar sekali mendengarkan kidung Mazmur. Bukankah keindahan tak
mengenal label agama, Bapa Frans yang baik? Saya sendiri awalnya ada
dalam barisan yang membenci Nasrani. Membenci Yesus dan membenci mereka
yang berbeda dengan saya. Seumur hidup saya merasa bahwa kalian, umat
Katolik dan Kristen, adalah wabah, hantu, wewegombel atau semacam
jerangkong yang mengajak umat Islam berpindah agama. Berpindah
keyakinan. Seperti yang diajarkan dalam surat Al Baqarah ayat 120. Tapi
sebagai manusia yang berpikir dan berotak, saya menolak hanya menerima
sebuah perintah tanpa paham dulu konteks sebuah ayat atau perintah
diturunkan.
Melulu kita bisa saja diam, bersandar pada satu tafsir yang tunggal.
Saya menolak itu, Bapa Frans yang bijak. Pada Ali ‘Imran ayat 118
misalnya Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh
telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”
Dalam Asbabun Nuzul-nya, tercatat dari Ibnu Jarir dan Ibnu Ishak,
mengetengahkan dari Ibnu Abbas, katanya, “Beberapa orang laki-laki Islam
masih juga berhubungan dengan laki-laki Yahudi disebabkan mereka
bertetangga dan terikat dalam perjanjian jahiliah yang mengikat.”
Allah menurunkan ayat ini supaya umat muslim terhindar dari fitnah dan
kewajiban memerangi sesama muslim karena perjanjian itu. Konteks ayat
itu jelas, bahwa kaum muslimin masih lemah dan dalam peperangan. Tapi
apakah kita berperang saat ini? Apakah kaum muslimin, di Indonesia,
sedang berperang dengan umat anda, Bapa Frans? Tentu saja tidak.
Jika semata kita membaca teks ini tanpa memahami Asbabun Nuzul-nya,
tentu akan ada syiar kebencian. Bahwa umat Islam diajarkan untuk
eksklusif. Diajarkan untuk menjaga jarak, diajarkan untuk curiga, takut
dan memusuhi.
Tapi yang demikian bukanlah ajaran Islam, Bapa Frans yang baik. Islam
yang baik menunut para pemeluknya untuk terus berpikir. Terus mencari
tahu dan bukan diam sekadar menerima suapan ajaran. Bahwa Islam adalah
agama yang mengajarkan berpikir. Iqra, bunyi surat pertama yang turun
dalam ajaran kami bukan melulu perintah membaca Qur’an belaka. Namun
ilmu pengetahuan lain yang membuat kami sebagai muslim bisa menjadi
terbuka dan bijak.
Bapa Frans yang baik. Apakah anda tahu Imam Ali bin Abi Thalib? Ia yang
dijuluki bulul ‘ilmi, pintu dari kota ilmu pengetahuan bernama Nabi
Muhammad. Ia yang dijuluki pula oleh kanjeng Nabi kami sebagai Abu
Thurab, si manusia yang diselimuti abu. Tahukah anda mengapa ia menerima
julukan ini, Bapa Frans yang baik? Karena ia, Imam Ali yang sederhana,
saudara terdekat kanjeng Nabi, menantunya yang mulia, pria berjuluk Al
Faruq al Azham, tertidur di masjid tertutup debu padang pasir. Lantas
kanjeng Nabi Muhammad yang agung membangunkannya seraya berkata,
“Bangunlah, Abu Thurab.” Ia, Imam Ali kami, sungguh menyukai panggilan
ini.
Tapi mungkin Bapa Frans yang baik bertanya: Mengapa, jika benar, Imam
Ali adalah orang yang mulia, menerima bahkan senang ketika ia dijuluki
Abu Thurab alias si manusia debu? Karena ia menjadi manusia, menjadi
fana, menjadi sederhana dan tidak menyalahi fitrah sebagai umat.
Tahukah anda, Bapa Frans yang baik? Sebagai Imam dan Kalifah keempat
dalam Islam, ia bisa saja memilih hidup bermewah-mewahan seperti Abu
Sufyan, muawiyah dan yazid keturunannya, tapi si Abu Thurab ini memilih
hidup sederhana, miskin dan tak punya apa-apa. Karena apa yang dimiliki
Baitul Maal, seperti juga Bank Vatikan yang anda tegur karena terlalu
matrealis, adalah milik umat. Bukan milik pribadi pemimpin.
Memang agak kurang tepat membandingkan anda, Bapa Frans, dengan Imam
Ali. Bukan, bukan karena kalian berasal dari dua label agama yang
berbeda. Tapi karena Bapa Frans dan Imam Ali berada pada dua zaman
dengan dua permasalahan berbeda. Saat itu, seperti yang juga terjadi
hari ini, umat muslim tengah pecah oleh manusia yang gemar mengafirkan
dan menyesatkan. Manusia-manusia dungu yang gagal melihat perbedaan
sebagai fitrah. Hari ini, pekerjaan Bapa Frans mungkin sedikit lebih
mudah. Dengan segala kesederhanaan dan kebijakan membumi yang Bapa
bikin, saya pikir, umat Katolik mencapai puncak peradaban sosialnya yang
paripurna.
Sebagai pemimin, anda tak ragu mencuci kaki anak-anak nakal yang terkena
masalah. Dua di antaranya adalah muslim. Toleransi ini, boleh jadi
adalah gincu, sekadar usaha menaikkan rating dan citra gereja yang
terpuruk sebelumnya. Barangkali pula, ini sekadar pura-pura. Tapi kita
tahu, saya tahu, anda tahu. Sikap baik selalu berpotensi dianggap
pencitraan. Tapi, Bapa Frans yang baik, saya percaya anda adalah orang
yang jujur. Mungkin saya bisa salah. Tapi di zaman di mana keras hati
dan teror adalah raja, cinta kasih yang anda tunjukkan adalah rahmat lil
alamin yang saya rindukan. Anda mungkin bukan orang Islam, tapi bagi
saya anda lebih muslim daripada muslim itu sendiri.
Sulit bagi saya untuk tak turut haru mengingat bagaimana pada awal
sejarah lahirnya Islam, kaum Nasrani turut membantu dan memberikan
perlindungan. Sulit bagi saya untuk tak membandingkan kebaikan mereka
yang berbeda keyakinan perihal kekudusan Yesus, atau Isa, namun tak
membuat Nasrani saat itu bersitegang ataupun memusuhi kaum muslimin.
Pada sebuah kisah di tahun 628 M, beberapa utusan dari Biara St.
Catherine, sebuah gereja di kaki Gunung Sinai mengunjungi Nabi Muhammad
untuk meminta perlindungan. Lantas, melalui sebuah dokumen, Nabi
Muhammad menjamin keselamatan para biarawan Nasrani itu.
Beberapa intelektual muslim mendebat keabsahan dokumen ini. Tentu saja,
seperti yang saya bilang di awal, niat baik selalu dicurigai sebagai
kepalsuan. Barangkali terlalu sering kita dikhianati sehingga apa yang
sebenarnya baik dan tulus dicurigai sebagai kejahatan yang dipalsukan.
Kepada biarawan St. Catherine, inilah janji Nabi Muhammad SAW:
“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai
perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di mana
pun mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para
pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang
Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang
tidak menyenangkan mereka. Tidak boleh ada paksaan atas mereka. Tidak
boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya demikian juga
pendeta dari biaranya. Tak boleh ada seorang pun yang menghancurkan
rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke
rumah kaum Muslim.
Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah
Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya mereka sesungguhnya adalah sekutuku dan
mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Tidak
boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang.
Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan
Kristen menikahi lelaki Muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas
persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk
berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk
memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas
perjanjian ini. Tak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini
hingga hari penghabisan (kiamat).”
Dokumen di atas boleh jadi palsu, boleh jadi asli, boleh jadi bikinan
dan boleh jadi sebuah konspirasi. Tapi apakah kepalsuan itu? Apakah yang
asli? Apakah asli jika sesama manusia sekadar tunduk pada nafsu
jahiliah akan kegemilangan masa lalu? Bahwa ada manusia-manusia yang
merasa punya kuasa untuk menekan kelompok lainnya atas perintah surga?
Bapa Frans yang baik. Anda selama ini, selama kepemimpinan sebagai
seorang paus Katolik yang agung, mengajarkan saya untuk menjadi muslim
yang benar. Muslim yang menyadari bahwa beragama tidak lantas melupakan
tugasnya sebagai manusia. Yaitu menjadi manusia di antara manusia.
Bapa Frans yang baik. Semoga anda selalu sehat. Semoga akal sehat selalu
menjadikan anda kawan karib. Semoga anda tetap mencontohkan bahwa
keimanan bukan sekadar pertunjukan, tapi ia adalah tanggung jawab
bersama. Bahwa mencintai surga tak lantas menjadikan orang lain di
sekitar kita jadi terlantar. Atau lebih buruk lagi menjadikan orang yang
ada di sekitar kita jadi ketakutan. Lantas apa gunanya beragama?
Berkeyakinan jika hanya meneror dan memusuhi yang lain? Bukankah itu
hanyalah kesia-siaan?
Mungkin kaum muslimin lupa, bahwa pascapenaklukan Mekah, kanjeng Nabi
tidak memaksa, mengancam atau membunuh kaum nonmuslim. Ia memberikan
kebebasan bagi kaum Nasrani dan kaum Yahudi untuk menjalankan
keyakinannya.
Bahkan pada sebuah narasi yang dituturkan oleh Karen Amstrong
mengisahkan bahwa seusai penghancuran berhala-berhala, di dalam Ka’bah
terdapat satu lukisan Bunda Maria dan bayi Isa. Jika ini benar, terbukti
dan bisa dipertanggung jawabkan, betapa absurdnya permusuhan yang
dilakukan atas nama agama beratus tahun seusainya.
Ah, Bapa Frans yang baik. Maafkan saya telah meracau dan membuang waktu
anda yang berharga. Barangkali kita perlu berjumpa. Seperti yang anda
katakan, manusia butuh lebih banyak bersama, berjumpa dan bicara dari
hati ke hati. Ketimbang mengumbar teror, kebencian dan sekadar buruk
sangka.
Ah, andai saja. Ya, andai saja banyak umat muslim yang berpikir lebih
bijak dan lebih panjang. Barangkali mereka akan menyukai anda, Bapa
Frans.
Salam,
Seorang Muslim dari Negeri Jauh.
http://midjournal.com/2013/12/surat-untuk-bapa-fransis/
0 Komentar