Nelayan melarung makanan untuk ikan-ikan di laut tenpat mereka mencari ikan sebagai rasa syukur telah menjadi mata pencaharian. (foto:kompas) |
A+ (Opini) | Saya membuka roman tahun 1948 berjudul Petrus in Dubio, sebuah kitab kuning - karena kertasnya berwarna kuning - itu tak begitu menarik bagi saya, karena saya sulit memahami bahasa yang digunakan, Boso Londo.
Namun ada hal menarik adalah catatan-catatan ayah dalam tulisan gandeng
yang sangat indah, sejenak saya teringat iklan tentang jomblo, “tulisan aja gandengan…” - alias
nyambung. Ternyata tulisan sambung atau tulisan gandengan itu
memberikan pesan menarik bagi saya, bahwa kerap diantara kita diwarisi
tradisi dan pesan sambung-bersambung, turun-temurun, tapi tetap saja
kita tidak nyambung, karena tak tahu apa pesan yang ingin disampaikan.
“Salah sambung itu biasa, tapi salah baca SMS itu luar biasa…,” batin saya.
Ya, membaca pesan dalam simbol-simbol yang diajarkan secara
turun-temurun oleh nenek moyang, kadang malah membuat kita salah tafsir.
Dan salah satunya adalah pesan dalam tradisi Larung.
Tak hendak menggurui, saya tak akan pula membuat catatan berkepanjangan.
Tradisi Larung ialah kebiasaan berkala masyarakat sekitar sungai atau
danau atau laut, dalam hal ini bisa kita katakan sebagai masyarakat yang
memiliki ketergantungan hidup dari perairan.
Dalam tradisi larung biasanya menghantar makanan aneka rupa ke tengah
sungai, danau atau laut, kemudian membiarkannya ditelan arus atau
sengaja ditebar ke seantero sudut.
Tradisi ini sebenarnya di beberapa masyarakat ada yang dilakukan secara
pribadi setiap hari, setiap pekan maupun setiap bulan, dan menjadi
kolosal ketika dilakukan sebagai tradisi tahunan yang mana Larung
dilakukan bersama-sama oleh suatu kelompok masyarakat.
Dalam tradisi Larung, jika dalam masyarakat itu terdiri atas 5 (lima)
agama, akan dilakukan doa terlebih dahulu dengan cara lima agama. Jika
di masyarakat tersebut terdiri dari agama tunggal, maka didahului dengan
doa menurut agama yang dianut masyarakat tersebut, disamping kegiatan
hiburan dan sambutan-sambutan dari tokoh adat
dengan bahasa asal setempat sebagai bagian dari melestarikan budaya,
khusus hal ini saya pribadi memberikan apresiasi setinggi-tingginya bagi
para pelestari bahasa, yang mana kita setiap tahun kehilangan lebih
dari 500 kata bahasa daerah.
Sejak kapan Larung dianggap syirik?
Ialah sejak masyarakat menterjemahkan agama import ke dalam bahasa daerah supaya difahami oleh para pemeluknya. Semoga saja tidak ada anggapan syirik terhadap penterjemahan kitab suci ke dalam berbagai bahasa. Seperti kita tahu, dari Agama Islam misalnya, Kitab Suci Alquran Alkarim, diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa termasuk bahasa Swahili, Sunda, Jawa, Fulfulde, Wolof, Luganda, Indonesia dan lain-lain.
Larung, bagi orang yang dilahirkan dan didewasakan dalam lingkungan egosentrism sangat kuat, juga dianggap mubadzir,
membuang-buang makanan. Untuk soal membuang makanan adalah mubadzir
saya pribadi setuju, karena makanan adalah berkah dan rahmat karunia
Allah untuk hambaNya. Karena itu saya berusaha untuk selalu tidak
menyisakan butiran nasi dalam piring makan saya sebagaimana disunnahkan
Rasulullah SAW. Kalaupun saya membuang sisa makanan yang terpaksa tidak
saya makan, saya niatkan untuk shadaqah. Lho, membuang makanan kok
shadaqah? innamal a’malu binniyaat…
Demikian halnya Larung, tuduhan syirik dan mubadzir sama sekali tidak berdasar, karena kalah alasan atau niat.
Dalam tradisi masyarakat tradisional nusantara, terutama Jawa, rasa
syukur diantaranya diungkapkan dengan memberi makan kepada pihak yang
disyukuri. Ini adalah tradisi balas budi yang membuat masyarakat merasa
satu sama lain saling terikat secara emosional dan merasa memiliki
tanggung jawab antar sesama.
Belakangan saya dengan berani menjelaskan kepada siapapun yang bertanya.
Misalnya ketika seorang ikhwan bertanya, “Ustad, apa pendapat antum
soal tradisi Larung?”
Maka dengan penuh semangat saya jawab tegas, “Bagus! Harus dilestarikan
supaya dapat mengulur waktu dari bencana-bencana besar seperti
kelaparan.”
Rupanya hal ini membuat ia mulai ragu terhadapat pandangan saya, “antum masih muslim, kan?”
“Ya, ana masih muslim.”
“Kenapa antum berpandangan seperti itu?”
“Karena ana juga ingin sekali selalu bisa bersedekah seperti masyarakat yang melakukan tradisi larung itu.”
“Larung antum samakan dengan shadaqah?”
“Iya. Mereka sehari-hari hidup bergantung dari sebuah sungai, atau danau atau laut, apa salahnya jika bersedekah memberi sesajen
makan ikan-ikan di air tempat mereka menggantungkan hidup? Kadang kita
serakah tidak menjaga keseimbangan alam, hanya mau memangsa tanpa mau
memberi makan pada piaraan atau makhluk lain yang kita makan. Jika kita
terbiasa berwudlu dengan benar, insya Allah pesan-pesan seperti itu dapat kita baca dengan baik. “
“Bisa ditunjukkan dalilnya?”
“Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapat pahala dengan memberi minum
binatang?’ Beliau menjawab, ‘Pada setiap limpa yang basah terdapat
pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra). Sebelumnya
Allah juga berfirman tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam,
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah membalas kepada sebagian mereka dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
[Ar-Ruum: 41]“
“Ya, ana mafhum sekarang, jazaakallahu khoir atas penjelasannya.”
“Sama-sama, kita sesama muslim memang harus saling mengingatkan, karena addiinu nasihah–agama adalah nasihat.”
—– belum selesai —–
Dikutip dari catatan pribadi saya: Desa mawa cara, agama mawa tata.
Catatan:
Basa Landa (boso londo) = bahasa belanda
Basa Landa (boso londo) = bahasa belanda
innamal a’malu binniyat = sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung (sesuai) niatnya.
antum = jamak dari anta (kamu), berarti antum bermakna kalian,
seringkali orang salah mengucapkan untuk menyebut orang kedua tunggal,
mestinya anta/ente (pria), anti (wanita) namun menggunakan kata antum
(kalian), menurut salah satu ustad kawan saya dari sebuah pesantren
modern terbesar di indonesia,
penggunaan kata antum karena yang mengucapkan yakin bahwa dalam manusia
tidak berjalan sendiri, setiap orang punya qarin, kakang kawah adhi
ari-ari.
jazaakallaahu khoir = ucapan terimakasih (semoga balasan untukmu pahala dari Allah dengan yang lebih baik.).
mafhum = paham, jelas, tercerahkan.
syirik = mempersekutukan Allah dengan menganggap ada Tuhan selain Dia.
Kitab kuning - buku berwarna kuning, ini menjadi sebutan lazim namun
tak resmi untuk buku kumpulan hadith (sahih) bukhari, yang karena
dicetak di zaman kertas masih berwarna kuning, andai saat itu kertas
warnanya merah mungkin akan disebut kitab merah.
Sesajen (jawa, artinya sajian, suguhan makanan)
Wudlu = mensucikan diri dengan membasuh tangan, muka, mengusap
kepala dan telinga, dan membasuh kaki. Tidak setiap yang bersih itu
suci, dan tidak setiap yang tampak kotor itu tidak suci, misalnya debu,
kotor tapi suci dan mensucikan, jadi wudlu merupakan upaya mensucikan
indra pada tubuh manusia.
Ustad = pengajar / guru agama (saya bukan ustad, beberapa teman
memanggil demikian karena saya suka mengaji, mestinya dipanggil santri
atau siswa saja, apalagi saya tidak berjenggot).
mahar (nama saya), berarti tebusan. Itu sebabnya mahar dalam tradisi
di arab tidak diberikan kepada pengantin wanita tapi kepada walinya.
protester (tidak ada kata tersebut saya pakai di catatan diatas,
namun akan ada komentar yang memprotes, pemrotesnya bernama protester).
Sumber: KOMPASIANA/MAHAR
1 Komentar
دسر
BalasHapusانواع ژله
دکتر وب