OPINI | FPI atau Front Pembela Islam yang sering tampil manis dalam berbagai aksi sosial kebencanaan dan bikin gemes itu ditampilkan oleh pihak tertentu sebagai monster menakutkan. Namun tak berlaku bagi mereka yang bisa melihat dengan jujur tanpa tendensi.
Informasi-informasi tentang FPI yang gemesin
itu ditutup sedemikian rupa, sehingga yang muncul adalah perasaan takut,
khawatir dan teror terutama bagi mereka yang melakukan praktik bisnis
kotor, atau memiliki sikap intoleran terhadap agama islam namun
menutupinya dengan seolah paling Indonesia, paling Pancasilais, paling
menghargai kebhinnekaan, paling UUD '45, paling NKRI.
Latar
belakang FPI dikatakan radikal dan intoleran, karena sikap kerasnya
terhadap pihak-pihak yang intoleran tidak berlaku adil ketika berhadapan dengan
kepentingan umum yang diwakili umat islam, atau ada yang menodai ajaran agama Islam baik oleh non muslim atau oleh orang islam sendiri. Ya, FPI masih
menganggap Islam sebagai agama, dogma, bukan sekadar artefak sejarah,
bukan hanya baju yang mengesahkan bahwa seorang WNI itu Pancasilais
dengan memeluk salah satu agama, berKetuhanan Yang Maha Esa.
Agama (Islam) yang masih
dianggap sebagai dogma oleh FPI, dianggap terlalu kolot dan tidak
modern, menghambat kemajuan zaman dan kebebasan berekspresi bagi
penganut faham liberal. Itu sebabnya FPI kemudian jadi common enemy untuk sama-sama diserang dari segala penjuru dan dilemahkan.
Apakah benar membuat mereka (FPI) melemah?
Ruang gerak terbatas mungkin iya, tapi semakin lemah mungkin tidak, justru mereka butuh tantangan, butuh persekusi, butuh digegeri,
karena hal itu merupakan tolok ukur prinsip yang dibawa mengandung
kebenaran atau tidak. Jika benar, maka akan semakin banyak penolakan,
serangan. Sebaliknya jika bukan hal benar, maka orang akan diam saja,
menganggap wajar, dan banyak yang mendukung.
Itu sebabnya, semakin diinjak semakin melawan, semakin ditekan semakin menyala ghirahnya.
Maka
ketika banyak pihak meramu berbagai strategi melemahkan FPI dengan
persekusi dan berbagai kekerasan termasuk secara verbal, FPI bukannya
melemah malah nyalanya semakin besar.
Hal yang bisa
membuat FPI meredup itu ketika semua pihak menerima, semua pihak
menganggap sebagai teman, semua pihak mendukung. Saat itulah mereka
justru akan bertanya-tanya, apa yang salah? Lazimnya pembawa kebenaran
itu ditentang, tapi ini sebaliknya?
Tak hanya FPI, namun juga
terhadap kelompok-kelompok di luar itu yang bahkan lebih radikal, menolak Pancasila dan Konstitusi RI (UUD 1945), menolak kepemimpinan nasional hasil pemilu, merupakan bahaya sebenarnya, namun ditutupi. (Atau sengaja dipelihara supaya tetap ada program deradikalisasi dan anti terorisme?)
Apakah mengorbankan FPI adalah cara ngeles karena tidak mampu menghadapi mereka yang lebih piawai gerakannya, tersembunyi dan pintar berkamuflase? Sedangkan FPI hanya dijadikan cover proyek,
dijadikan musuh bersama, diramaikan, untuk menutupi praktik gelap yang dilakukan, menutupi ketidakmampuan sekaligus
menciptakan teror supaya tetap ada proyek pengamanan?
Hal seperti itu bisa saja dicurigai, diduga, dilakukan oleh oknum atau pihak tertentu, maupun oleh pihak swasta jasa pengamanan, ataupun
organisasi / kelompok masyarakat yang merasa punya power dan dapat disewa jasanya guna pengamanan terhadap aset maupun perasaan ketakutan yang diciptakan terhadap pihak tertentu.
Jikalau ada kepentingan seperti itu maka sepakat, dalam hal ini FPI hanya sebagai alat menakut-nakuti saja.
Faktanya,
tak sedikit orang yang pernah terdampak bencana misalnya, justru merasa terjamah
oleh FPI yang membantu mereka di saat sumber daya lainnya vakum atau belum mampu menjangkau mereka.
Dengan memahami semangat jihad bil hal (bukan bil harb/dengan perang) FPI yang dilakukan melalui berbagai kegiatan sosial, pelestarian lingkungan dan pendidikan kader da'i melalui pesantren, maka treatment-nya
tentu juga harus berbeda. Beri saja kerepotan/kesibukan kepada mereka guna membantu
distribusi bansos, penanganan kebencanaan dari mitigasi - evakuasi
hingga rehabilitasi kebencanaan, membangun daerah atau pulau terluar dan sebagainya, sebelum potensi FPI yang luar biasa itu
dilirik pihak lain.
Dengan terpilihnya Yaqut Cholil Qoumas yang
notabene Ketua GP Anshor sekaligus pihak yang selama ini paling keras dibuat
berseteru (dibenturkan) dengan FPI untuk melemahkan potensi nahdliyyin sebagai akar kedua organisasi tersebut, masyarakat menunggu kebijakannya yang obyektif
untuk menghentikan perseteruan. Karena dari interaksi kedua pihak inilah kerap berbagai
keributan itu terjadi.
Kita lihat dan tunggu, apakah Gus Yaqut yang pernah menjadi wakil bupati dan anggota DPR ini mampu
menjadi menteri semua agama dan golongan, atau maqamnya masih terpasung hanya sebagai Ketua GP Anshor saja.
Yang jelas Cipta Kondisi masyarakat secara ipoleksosbudhankam seperti apa yang diinginkan seyogyanya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, bukan karena tekanan atau didikte kekuatan politik tertentu yang ingin melemahkan berbagai potensi yang dimiliki bangsa dan negara ini.
Gus Yaqut bisa saja berkolaborasi dengan Mensos Tri Rismaharini untuk
membuat program bersama guna melakukan pemberdayaan potensi masyarakat, termasuk FPI di dalamnya. Apakah dengan menciptakan padat karya atau program lainnya.
Ayo bikin sibuk, bukan bikin ribut!
Mahar Prastowo
Pelayaran Bhakti Bela Negara Kemhan RI
(Membangun Pulau-pulau Terluar bersama FPI dan sejumlah elemen Bela Negara lainnya).
0 Komentar