Pagi itu, Senin, 16 Agustus 2021. Hujan tipis turun di Jakarta, langit mendung seperti menyimpan amarah. Di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, delapan orang duduk berderet di kursi terdakwa. Semuanya berpakaian batik, rapi. Tapi yang paling menyita perhatian: dua di antaranya adalah mantan jenderal bintang dua dan bintang tiga TNI.

Di depan mereka, jaksa dari Kejaksaan Agung membacakan dakwaan setebal lebih dari seratus halaman. Angkanya mencengangkan: Rp22,788 triliun.

Bukan angka yang bisa dibayangkan dengan mudah. Itu setara dengan membangun sepuluh rumah sakit tipe A lengkap dengan alat medis modern, atau menggaji 200 ribu prajurit selama satu tahun. Tapi uang sebanyak itu, yang mestinya menjadi jaminan hari tua para prajurit TNI dan Polri, hilang. Raib di pasar saham.


Skema yang Terlihat “Pintar”

Kasus ini bukan pencurian uang tunai di brankas. Bukan pula suap di bawah meja. Ini lebih rumit, lebih halus, dan—ironisnya—lebih elegan secara finansial.

Di atas kertas, semuanya sah. Ada transaksi, ada saham, ada portofolio investasi. Hanya saja, semuanya semu.

Direksi PT Asabri (Persero) pada masa itu—bersama para “raja saham” seperti Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat—melakukan rekayasa portofolio. Saham-saham yang nilainya sudah jeblok, diatur seolah-olah naik. Dibeli dan dijual berulang lewat perusahaan boneka, agar di laporan keuangan tampak kinclong.

Tujuannya sederhana: agar kinerja investasi Asabri tampak bagus di mata publik dan kementerian. Tapi di balik laporan yang tampak sehat itu, Asabri sejatinya sudah digerogoti dari dalam.

Uang yang seharusnya menjadi milik para prajurit—hasil keringat mereka yang bertugas di perbatasan, di laut, di medan latihan—justru diputar untuk memperkaya segelintir orang yang paham cara bermain di balik layar.


Saham yang Tak Pernah Benar-Benar Naik

Nama-nama seperti PT Hanson International, PT Trada Alam Mineral, dan PT Prima Jaringan muncul di dalam dakwaan. Semua terlibat dalam transaksi silang antara Asabri dan jaringan Benny-Heru-Lukman.

Harga saham mereka dinaikkan lewat manipulasi. Di bursa, seolah-olah ada permintaan tinggi. Padahal, itu hanya “jual beli di antara mereka sendiri”—transaksi semu yang disebut wash sale.

Asabri membeli saham itu di harga tinggi, berharap mendapat keuntungan. Tapi begitu pasar terbuka, saham itu jatuh. Tak ada pembeli nyata. Yang ada hanya angka-angka yang dikendalikan lewat komputer, lewat perintah, lewat telepon antar sekongkol.

Kerugian negara? Rp22,788 triliun. Sebuah angka yang membuat lidah kelu.


Para Jenderal dan Rasa Malu Institusi

Nama besar ikut terseret.

Mayjen (Purn) Adam Damiri, Direktur Utama Asabri 2011–2016

Letjen (Purn) Sonny Widjaja, Direktur Utama 2016–2020.


Mereka pernah memimpin pasukan, berdiri gagah di depan bendera merah putih, memerintah ribuan prajurit. Tapi kini, duduk diam di kursi terdakwa.

Kasus ini bukan hanya tentang hukum, tapi tentang rasa malu. Tentang citra sebuah institusi yang selama ini identik dengan disiplin dan pengorbanan.

Bagi banyak prajurit di lapangan, Asabri adalah harapan terakhir. Uang pensiun dari lembaga ini adalah bentuk penghargaan negara untuk pengabdian mereka. Tapi kini, lembaga itu justru menjadi luka.


DPR dan Sorotan Publik

Kasus ini mengguncang parlemen. Ahmad Sahroni dari Komisi III DPR RI menyebut kinerja Kejaksaan Agung “patut diacungi jempol.” Cepat, tegas, dan tak pandang bulu. Tapi di sisi lain, anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina justru gelisah. “BUMN ini wajah negara,” katanya. “Kalau terus korup, bagaimana publik percaya?”

Kata-katanya mewakili suara banyak orang. Setiap kali BUMN terseret korupsi—dari Jiwasraya, Garuda, hingga kini Asabri—ada luka baru di hati publik. Luka karena dikhianati oleh sistem yang mestinya melindungi.


Pelajaran dari Uang yang Hilang

Kasus Asabri bukan semata soal delapan orang terdakwa. Ia adalah cermin betapa lemahnya sistem pengawasan di BUMN keuangan negara.

Audit internal tak berdaya menghadapi manipulasi licin. Dewan komisaris terlalu percaya pada laporan manajemen. Sementara kementerian pembina baru sadar ketika semuanya sudah terlambat.

Di sinilah akar persoalannya: Good Corporate Governance di banyak BUMN masih sekadar jargon. Di atas kertas rapi, tapi di lapangan penuh kompromi.


Uang yang Tak Pernah Kembali

Rp22,788 triliun itu kini tinggal angka. Aset yang disita memang banyak: saham, tanah, gedung, rumah mewah. Tapi nilainya jauh dari kerugian negara.

Sebagian uang sudah berpindah tangan. Sebagian lain—seperti biasa—lenyap dalam labirin transaksi keuangan.

Tak ada yang tahu berapa yang benar-benar bisa kembali.


Penutup: Tentang Amanah dan Ingatan

Dari semua drama pengadilan itu, mungkin yang paling menyakitkan adalah kesadaran bahwa korupsi bisa terjadi bahkan di lembaga yang mengurus kesejahteraan para penjaga negara.

Prajurit di perbatasan tak pernah tahu apa itu wash sale atau rekayasa portofolio. Mereka hanya percaya bahwa setiap bulan ada potongan gaji untuk Asabri. Mereka percaya uang itu akan kembali saat mereka tua.

Tapi kepercayaan itu kini retak.

Dan seperti yang sering saya tulis—dalam korupsi sebesar apa pun—yang paling mahal bukan uangnya, tapi hilangnya kepercayaan.

Karena uang bisa dicetak ulang, tapi kepercayaan yang hancur tak pernah bisa dikembalikan.


Catatan:
Kasus korupsi PT Asabri (Persero) dengan kerugian negara sebesar Rp22,788 triliun menjadi salah satu skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia. Ia menjadi pengingat keras bahwa kejujuran dan akuntabilitas bukan hanya urusan hukum, tapi soal moralitas dan masa depan bangsa.


[]