Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Hukum Naik ke Lantai 3



Oleh Mahar Prastowo

Hari itu, cuaca di Jakarta Timur mendung menggantung. Tapi di lantai 3 kantor Kelurahan Kebon Pala, suasana justru terasa hangat. Bukan karena AC mati. Tapi karena obrolan hukum yang biasanya dingin dan berjarak, pagi itu berubah jadi tawa, kegetiran, dan—sedikit harapan.

Tertulis besar di layar proyektor: “Sosialisasi Kadarkum & Posbakum: Hukum untuk Semua”. Di bawahnya, kursi-kursi plastik terisi penuh. Ketua RW, para Ketua RT, ibu-ibu PKK, pemuda Karang Taruna, dan beberapa warga biasa. Juga hadir perwakilan FKDM yang mencatat tenang sambil sesekali menyeringai saat warga tertawa geli mendengar contoh perkara warisan yang rumit.


Hukum yang Tak Lagi Menggurui

Kadarkum, singkatan dari Keluarga Sadar Hukum, adalah program yang sering dianggap formalitas. Di banyak tempat, ia hanya jadi baliho. Tapi di Kebon Pala, pagi itu, ia hidup.

“Kalau ada kasus anak berkelahi, bisa nggak diselesaikan di pos RW dulu sebelum ke polisi?” tanya Pak RW 03.

“Nah itu yang disebut penyelesaian non-litigasi,” jawab narasumber dari Kantor Wilayah Kemenkumham. Kata-kata Latin tak digunakan. Hukum dibumikan dalam bahasa warung dan musala.

Warga tertawa saat diminta menyebut contoh sengketa. “Warisan, Pak!” sahut seseorang.
“Dua adik saya gugat saya karena rumah orang tua. Padahal yang urus orang tua dari kecil siapa coba?” Seluruh ruangan riuh.


Posbakum, dari Kantor Pengadilan ke Kantor Kelurahan

Tak hanya sadar hukum, warga kini juga tahu: mereka bisa dibantu jika harus menghadapi hukum. Tanpa biaya.

Posbakum atau Posbankum, singkatan dari Pos Bantuan Hukum, disosialisasikan dengan nada ringan. “Ibu-ibu, kalau dapat surat somasi dari pinjaman online, jangan panik! Jangan bayar pakai gelang kawin. Laporkan! Minta bantuan!” ujar seorang paralegal dari Lembaga Bantuan Hukum mitra pemerintah kota.

Warga langsung antusias. Banyak yang mencatat nomor hotline. “Di sini kita akan punya Posbakum kelurahan. Bisa konsultasi. Ada pelatihan paralegal juga,” jelas Lurah Kebon Pala, yang sejak awal membuka acara dengan pernyataan yang sederhana tapi kuat: “Jangan biarkan warga berhadapan dengan hukum sendirian.”


Di Balik Tertib, Ada Luka Lama

Seusai acara, saya sempat duduk dengan seorang Ketua RT yang enggan disebutkan namanya. Ia cerita panjang soal warganya yang jadi korban tipu-tipu developer abal-abal. “Mereka nggak tahu hukum, Pak. Pas tanda tangan, sudah kejebak. Sekarang rumahnya nggak ada, uang melayang.”

Itulah mengapa kegiatan ini bukan sekadar penyuluhan. Tapi pembebasan. Karena hukum yang tak dikenal, akan menakutkan. Dan ketakutan itulah yang selama ini membuat warga miskin menjauh dari pengadilan, dan membiarkan nasibnya digulung diam-diam oleh birokrasi, debt collector, atau mafia tanah.


Dari Aula ke Gang-Gang Sempit

Sore menjelang, kegiatan usai. Tapi diskusi hukum belum berhenti. Di tangga sempit menuju lantai dasar, dua ibu-ibu PKK masih ribut membahas soal warisan dan surat hibah. Seorang anggota FKDM membuka HP, memperlihatkan tautan ke situs bantuan hukum online.

Kadarkum dan Posbakum di Kebon Pala tidak sempurna. Tapi hari itu, hukum bukan lagi soal toga hitam dan palu hakim. Ia hadir dalam bentuk lebih sederhana dan suara ibu-ibu yang berani bertanya.

Dari lantai 3 kelurahan, hukum perlahan turun menyapa gang-gang sempit. Membantu warga memahami, membela, dan—yang terpenting—tidak takut lagi.


Epilog:

Di akhir acara, seorang warga menulis di kertas evaluasi: “Tolong diadakan rutin. Kadang kita cuma butuh didengar dan diarahkan, bukan dimarahi petugas.”

Kalimat itu sederhana. Tapi ia menampar banyak wajah sistem hukum kita. Bahwa akses keadilan tidak cukup dengan pintu yang terbuka. Ia perlu tangan yang menggandeng dan bahasa yang dimengerti.

...











Posting Komentar

0 Komentar