Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Ketika Gempa Disimulasikan di Pesantren



Gempa itu tidak sungguhan. Tapi pelajaran darinya betulan.

Rabu pagi, 11 Juni 2025, halaman sebuah pondok pesantren di sebuah sudut di Karawang berubah seperti zona darurat. Ratusan santri berhamburan keluar dari bangunan. Teriakan evakuasi menggema. Beberapa membawa sajadah, beberapa lainnya menggenggam kitab kuning. Semua bergegas mencari “jalur selamat”.

Hari itu, Ponpes Sumber Barokah menjadi panggung bagi simulasi gempa bumi dan kebakaran. Bukan pertunjukan. Tapi pelatihan. Disusun rapi oleh tim Senkom SAR Pusat, bekerja sama dengan BPBD Karawang, Senkom Karawang, dan para pengurus pesantren. Dua hari penuh — 11 dan 12 Juni — mereka membedah skenario terburuk agar tahu bagaimana bertahan saat bumi tidak lagi tenang.

Saya memang tidak hadir langsung di pelatihan kali ini. Tapi saya tahu betul suasana di sana. Beberapa tahun lalu, saya pernah menyambangi desa sekitar pondok itu, bersama Ketua Departemen SAR Senkom dan tim dari Senkom Reaksi Cepat (SRC). Saya ingat betul betapa rapatnya permukiman, betapa sempitnya jalan setapak, dan betapa pentingnya menyisipkan kesadaran mitigasi di tengah masyarakat yang lebih dulu percaya pada takdir ketimbang prosedur evakuasi.

"Santri bukan hanya harus paham agama. Mereka juga harus bisa menyelamatkan diri dan orang lain," kata M. Syaiful, Deputi Senkom SAR Pusat, yang memimpin pelatihan.

Saya senang mendengarnya. Kalimat itu sejalan dengan ruh yang sejak lama kami tanamkan: iman dan kesiapsiagaan harus jalan beriringan.


Pondok, Pemadam, dan Pembelajaran

Hari itu, para santri tidak hanya belajar teori. Mereka praktik langsung — bagaimana mengevakuasi teman yang pingsan, bagaimana memadamkan api di dapur, bagaimana mencari jalan keluar dari bangunan bertingkat.

Sandi Setya, instruktur lapangan dari Senkom SAR, memimpin simulasi pemadaman kebakaran. Ia menyulut api dari minyak goreng. Santri-santri mulai panik. Tapi setelah diberikan tabung pemadam ringan dan sedikit keberanian, satu per satu mencoba. Api padam. Sorak pun membahana.

"Ini pengalaman yang tidak mereka dapatkan di madrasah," kata Ir. H. Mustagfirin, pimpinan Ponpes yang ternyata lulusan teknik sipil.

Saya paham maksud beliau. Di banyak pondok, pelajaran tentang kehidupan nyata — termasuk bencana — tidak ada dalam kurikulum. Maka inisiatif seperti ini bukan hanya menyelamatkan masa depan para santri, tapi juga memperluas definisi ilmu itu sendiri.

Saya ingat ketika dulu kami datang membawa materi pelatihan ke desa sebelah. Warga sempat ragu. Tapi begitu melihat simulasi, mereka antusias. Karena rupanya, pengetahuan praktis bisa lebih menggetarkan hati daripada seribu ceramah.

Ponpes Jadi Garda Depan? Mengapa Tidak

Nunung Koswara, dari BPBD Karawang, menyebut bangunan bertingkat di pesantren seperti Sumber Barokah justru membuat pelatihan ini sangat relevan.

“Kalau tidak siap, ini bisa jadi perangkap,” katanya. Dan ia benar. Di tempat seperti ini, satu detik lambat bisa berarti nyawa melayang.

Joko Utomo, dari Senkom Karawang, ingin menjadikan Ponpes sebagai model komunitas tangguh bencana. Ia menyebut konsep ini “Ponpes Tangguh Bencana”. Bukan hanya label, tapi program nyata: pelatihan, SOP evakuasi, peta risiko, hingga pembentukan regu siaga bencana dari kalangan santri sendiri.

Saya pikir, ini lebih dari sekadar simulasi. Ini sebuah eksperimen sosial. Bisakah pesantren — simbol tradisional Islam Indonesia — menjadi pelopor kesiapsiagaan bencana?

Saya percaya bisa. Karena mereka punya struktur. Punya kedisiplinan. Dan, yang paling penting, punya komunitas.

Sigit Haryanto, dari Basarnas Karawang, bahkan menyebut Ponpes Sumber Barokah sebagai yang pertama di Karawang yang melakukan simulasi gempa secara serius.

Langkah kecil. Tapi berarti.


Santri, Sirine, dan Skenario Terburuk

Saya membayangkan — di banyak tempat di negeri ini — ribuan santri sedang duduk di kelas, tak sadar mereka berada di wilayah rawan gempa atau longsor. Jika tak ada yang mengajari mereka cara menyelamatkan diri, mereka hanya akan jadi angka dalam statistik pascabencana.

Tapi tidak di Ponpes Sumber Barokah.

Di sini, sirine bukan sekadar bunyi. Ia adalah panggilan untuk menyelamatkan diri, menyelamatkan sesama.

Dan santri bukan sekadar pelajar kitab. Mereka juga calon relawan. Calon pemimpin komunitas. Calon penyelamat nyawa.

Saya berharap — di masa datang — akan ada lebih banyak ponpes seperti ini. Yang bukan hanya mengajari anak muda bagaimana menjadi saleh. Tapi juga bagaimana bertahan. Bagaimana tidak panik. Bagaimana menolong. Dan bagaimana berikhtiar, sebelum berdoa.

Karena itu, ketika saya mendengar kabar pelatihan ini sukses digelar, saya tersenyum.

Bukan karena gempa. Tapi karena ada harapan yang bergerak di tengah tanah yang rawan berguncang.



Mahar Prastowo
Penulis adalah Humas Senkom Pusat 2012-2019

Artikel ini juga terbit di Indonesia/Tempo.co



Posting Komentar

0 Komentar