Minggu pagi di Bekasi. Jalan Kemakmuran belum terlalu ramai. Tapi ada satu sudut yang berbeda. Di Wulansari Resto, aroma teh melati dan kopi hitam beradu pelan dengan harumnya semangat hidup. Bukan aroma biasa. Tapi aroma perjuangan yang tak banyak diketahui orang: perjuangan mereka yang menertawakan kanker.
Ya, ini bukan seminar medis. Bukan pula forum ilmiah. Ini adalah Halal Bihalal dan Diskusi Santai yang digelar Hermina Cancer Warrior (HCW). Tapi siapa sangka, dari yang “santai-santai” itu justru mengalir kekuatan yang lebih besar dari kemoterapi: kekuatan saling percaya, saling peluk, dan saling mendengar.
HCW bukan klub elit. Ia semacam support group yang lahir dari luka dan sembuh karena tawa. Dipimpin oleh Prof. Cicih Ratnasih—yang kalau bicara pelan tapi dalam—HCW menjadi rumah bagi para penyintas dan pasien kanker Rumah Sakit Hermina Bekasi. Hari itu, mereka berkumpul. Ada 125 orang, lengkap dengan senyumnya masing-masing. Beberapa memakai kerudung warna pastel, sebagian lain mengenakan masker dengan motif bunga. Tapi tidak satu pun yang datang membawa kesedihan.
“Saling mengenal itu penguat,” kata Herlina Tahir, Ketua Panitia yang nyaris tak berhenti tersenyum pagi itu. “Dan kami ingin para pasien tahu, mereka tidak sendiri.”
Dua pembicara hadir. Dr.dr. M. Yadi Permana, spesialis bedah onkologi. Dan dr. Sugiyono, dokter penyakit dalam konsultan hematologi onkologi medik. Keduanya tidak duduk di kursi tinggi. Mereka duduk di antara para pasien. Seolah hendak bilang, “Saya bukan di atas Anda. Saya bersama Anda.”
Dr. Yadi bilang, kebahagiaan itu separuh terapi. “Pasien yang bahagia, lebih kuat melawan sel kanker,” ucapnya. “Diskusi seperti ini bisa jadi vitamin jiwa yang tidak dijual di apotek.”
Sementara dr. Sugiyono menyelipkan pesan penting: jangan terlalu percaya pada ‘orang pintar’. “Bukan karena saya dokter,” ujarnya sambil tertawa, “tapi karena kanker itu nyata, dan harus dilawan dengan ilmu yang nyata.”
Ia bicara soal medsos. Soal pasien yang percaya rebusan daun semangka lebih mujarab daripada kemoterapi. “Dan saat kembali ke dokter, stadium-nya sudah telat.”
Ibu Eni dan Senyum yang Tidak Pernah Palsu
Di antara tamu yang hadir, ada satu nama yang pelan-pelan jadi pusat perhatian: Ibu Eni Santoso. Rambutnya tipis. Tubuhnya mungil. Tapi tatapannya? Seperti batu karang yang dilamun ombak puluhan tahun dan tidak goyah.
“Allah itu tidak marah, makanya kasih cobaan,” katanya. “Justru karena sayang. Maka kita harus bertahan.”
Tak ada teori medis dalam kalimat itu. Tapi barangkali, itu yang membuat banyak pasien menangis diam-diam—bukan karena sedih, tapi karena dikuatkan.
Tiga Tahun, dan Masih Bertumbuh
HCW berdiri sejak 20 Oktober 2021. Ini adalah tahun ketiganya. Di bawah manajemen Rumah Sakit Hermina, komunitas ini tidak hanya menggelar diskusi. Mereka merancang kegiatan rutin, kampanye kesadaran, sampai seminar publik dengan penyintas sebagai narasumber utama.
“Yang bisa memotivasi penyintas, ya sesama penyintas,” kata Prof. Cicih. “Dari situ kita belajar bahwa kekuatan bisa ditularkan.”
Ia tidak sedang berbicara sebagai guru besar. Tapi sebagai seorang ibu yang tahu betul rasanya menunggu hasil lab dengan jantung berdebar.
Bukan hal baru memang, komunitas pasien. Tapi di tengah kota seperti Bekasi—yang hiruk pikuk dan cepat lupa—HCW hadir seperti oase. Di mana seseorang bisa menangis tanpa takut dinilai lemah, dan bisa tertawa tanpa takut dibilang tidak realistis.
Hari itu, tidak ada yang sembuh secara medis. Tapi banyak yang pulang dengan sembuh secara batin. Kadang, itu justru yang paling dibutuhkan untuk bertahan.
“Yuk, foto bareng!” seru salah satu peserta menjelang penutupan. Mereka berjejer, mengangkat dua jari, dan tersenyum. Seperti tak ada yang sakit. Seperti semuanya baik-baik saja.
Dan mungkin, memang begitu seharusnya: bertahan bukan untuk menang atas kanker, tapi menang atas ketakutan itu sendiri.
Galeri
0 Komentar