Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Koperasi Merah Putih: Antara Mimpi Kolektif dan Bahaya Ekonomi Komando

foto:beritakoperasi


Oleh: Mahar Prastowo

Presiden Prabowo Subianto punya mimpi besar: membangun 80.000 koperasi di desa-desa. Namanya patriotik: Koperasi Merah Putih. Konon, ini adalah motor ekonomi kerakyatan. Namun, bila kita tengok lebih dalam, kita harus bertanya: ini koperasi atau kendaraan politik?

Dari satu sisi, ada optimisme yang bisa dipanen. Di sisi lain, risiko yang mengintai bisa menyeret kita ke jurang krisis fiskal dan sistemik. Saya akan uraikan dua sisi mata uang Koperasi Merah Putih ini: positif dan negatifnya.

---

Sisi Positif: Ada Potensi, Jika Mau Bersusah Payah

1. Ekonomi Skala Mikro yang Diberdayakan

Dalam asumsi terbaiknya, koperasi memang bisa menjadi penggerak ekonomi lokal. Jika benar-benar dikelola dari bawah (bottom-up), koperasi bisa memperpendek rantai distribusi, menyediakan akses barang dan jasa murah, serta menjadi sumber pembiayaan mikro bagi warga desa.

Misalnya, jika Koperasi Merah Putih digunakan untuk menguatkan ketahanan pangan lokal, membeli langsung hasil tani petani dengan harga yang adil, atau menyediakan pupuk dan benih dengan harga pokok produksi—itu bisa menjadi oase di tengah gersangnya ekonomi desa.

2. Penyerapan Tenaga Kerja Lokal

Dengan 80.000-unit koperasi aktif, peluang kerja bisa terbuka bagi jutaan warga desa: dari pengurus koperasi, akuntan lokal, hingga staf gudang dan distribusi. Indonesia masih punya bonus demografi. Jika dimanfaatkan melalui struktur koperasi yang kuat, ini bisa menjadi pilar ekonomi alternatif selain industri dan manufaktur.

3. Redefinisi Akses Keuangan

Jika koperasi ini benar-benar menyentuh warga kelas bawah yang tak tersentuh perbankan, maka potensi inklusi keuangan bisa membesar. Di banyak negara berkembang, koperasi terbukti menjadi pintu masuk utama layanan finansial di level grassroot. Tapi—sekali lagi—jika dan hanya jika dikelola dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.

---

Sisi Negatif: Ekonomi Komando dengan Risiko Sistemik

Namun, mari kita realistis. Niat baik tanpa desain institusional yang sehat hanya akan jadi beban. Dalam konteks ini, skema Koperasi Merah Putih mengandung banyak paradoks dan bahaya tersembunyi.

1. Politik Kacang Dibayar Kacang

Dana desa bukanlah dana politik. Apalagi jika sampai dipotong langsung untuk mendirikan koperasi yang tidak jelas kelayakan bisnis dan rencana usahanya. Di tahun pertama, 20 persen dana desa akan dipotong langsung untuk modal. Di tahun kedua, 20 persen lainnya dijadikan agunan pinjaman. Ini bukan koperasi, ini command economy disguised as empowerment.

Mohammad Hatta jika masih hidup akan menangis melihat koperasi yang digerakkan melalui perintah Presiden, bukan dari musyawarah rakyat desa.

2. Risiko Sistemik dan Korupsi Struktural

Dengan asumsi pinjaman ke bank mencapai Rp 14,2 triliun dari koperasi yang belum jelas kelayakannya, kita membuka pintu krisis sistemik baru. Bank bisa dibebani kredit macet secara massal. Publik akan kehilangan kepercayaan, bukan hanya pada sistem keuangan, tapi juga pada koperasi itu sendiri.

Kita masih ingat Bank Century. Dana talangan yang “hanya” Rp 6,7 triliun saja sudah membuat negara jungkir balik. Kali ini, angka yang dihadapi dua kali lipat lebih besar. Ini bukan eksperimen, ini perjudian dengan uang negara.

3. Koperasi Tanpa Rakyat

Koperasi Merah Putih dibentuk secara top-down. Para kepala desa diperintah mendirikan, tanpa melalui musyawarah warga. Orang kemudian membandingkan dengan proyek-proyek monumentalisme Orde Baru seperti dulu ada P4, sekarang Koperasi Merah Putih. Dulu dikomandoi Presiden Soeharto, sekarang oleh Presiden Prabowo. Isinya sama: rakyat dijadikan penonton pembangunan yang katanya untuk mereka. Entah apakah perbandingan itu head to head atau tidak.

4. Politik Balas Budi

Penunjukan pengelola koperasi yang berasal dari Partai Gerindra, Projo, dan PAN adalah bentuk vulgar dari politik balas jasa. Struktur pengelolaan yang penuh kepentingan partisan hanya akan menjadikan koperasi sebagai ATM politik menjelang 2029. Siapa yang berani mengawasi? Siapa yang berani membongkar jika nanti uang itu hilang?

---

Penutup: Jalan Lain Masih Terbuka

Pak Prabowo, ekonomi tak bisa dibangun dengan gaya militer. Apalagi ekonomi desa. Ini bukan soal “siap, laksanakan!” tapi “mari kita rundingkan, lalu kerjakan bersama.”

Lebih baik gunakan dana itu untuk memperkuat BUMDes yang sudah berjalan. Perluas akses pendidikan, kesehatan, dan air bersih. Bangun jalan tani, jembatan gantung, serta digitalisasi pertanian.

Koperasi Merah Putih bukan tak mungkin berhasil. Tapi perlu desain ulang total: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Bukan dari Jakarta, oleh partai, untuk ambisi kekuasaan.

Karena kalau tidak, yang merah mungkin hanya benderanya. Tapi yang putih—yakni niat baik dan idealisme ekonomi kerakyatan—akan ternoda oleh kepentingan.

---

Catatan ini bukan penolakan ide koperasi tapi sebuah peringatan terhadap potensi dugaan politisasi koperasi.






Posting Komentar

0 Komentar