Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Hikayat Nusantara: Panggung yang Merayakan Indonesia




A+ | Di Yogyakarta, di sebuah gedung bernama Wana Graha Bhakti Yasa, pada Rabu siang pertengahan bulan itu, para penari bergerak dengan penuh kesungguhan. Ada denting gamelan yang bertemu gebyar tifa, ada irama talempong yang bertukar sapa dengan sasando. Di atas panggung latihan, seolah-olah kita bisa mendengar Indonesia bicara: penuh warna, penuh bunyi, penuh cerita.

Busana berkilauan ikut menambah kesyahduan. Untuk pertama kalinya, kostum rancangan 19 desainer papan atas negeri ini diperlihatkan kepada publik. Ada naga yang menjelma dari kain, ada barong yang menari di pinggir panggung, ada gajah putih dari Jember Fashion Carnival, ada Yuyu Kangkang dari Pesona Gondanglegi. Di wajah para penari, kebudayaan itu menemukan tubuhnya, hidup kembali.

Betapa gaduh, betapa ramai, tetapi juga betapa indah. Inilah gladi resik terakhir dari Pagelaran Sabang Merauke – The Indonesian Broadway “Hikayat Nusantara”. Nama yang panjang, megah, seolah hendak menampung seluruh bentang negeri. Tapi lebih dari sekadar nama, ia adalah kerja panjang setahun penuh: riset, latihan, pencarian talenta dari Aceh sampai Papua, karantina tiga bulan yang melelahkan. Pesta besar ini digelar di Indonesia Arena, Senayan, pada 23–24 Agustus 2025. 



Rusmedie Agus, sang sutradara, menyebutnya sebagai “dedikasi”. Sebuah kata sederhana, tetapi di dalamnya ada keringat, air mata, dan harapan ratusan orang yang bekerja di belakang panggung. Sandhidea Cahyo Narpati, koreografer utama, melihatnya sebagai perjalanan dari sekadar gerak menuju penghayatan. Penari-penari itu, katanya, kini bukan hanya menari—mereka bercerita, mereka hidup dalam kisah.

Yang membuat pergelaran ini berbeda adalah keberaniannya memadukan. Musik tradisional yang kerap kita dengar dalam upacara atau pesta desa kini berjumpa dengan orkestra simfoni. Elwin Hendrijanto bersama Dunung Basuki menjembatani gamelan, talempong, tifa, sape, sasando, dengan kemegahan Jakarta Concert Orchestra di bawah Maestro Avip Priatna.

Di atas itu semua, suara-suara penyanyi nasional hadir seperti lapisan jiwa: Yura Yunita dengan lirih modernnya, Padi Reborn dengan semangat generasinya, Sruti Respati dengan suara Jawa yang purba, Christine Tambunan, Mirabeth Sonia, hingga paduan suara Batavia Madrigal Singers dan The Resonanz Children’s Choir. Ada yang tua, ada yang muda, ada yang modern, ada yang tradisi. Semua bersuara untuk satu hal: Indonesia.

Hikayat yang akan dibawakan pun bukan dongeng asing. Ia diambil dari bumi sendiri: Hikayat Yuyu Kangkang, Malin Kundang, Si Tumang, Calon Arang. Kisah-kisah rakyat yang dulu diceritakan di beranda rumah atau di tepi sawah kini kembali dihidupkan dengan lampu panggung dan tata suara yang modern.




Sebanyak 31 lagu dan puluhan tarian dari Aceh sampai Papua ditata ulang. “Bungong Jeumpa” yang harum dari tanah rencong, “Butet” dari tanah Batak, “Padang Wulan” dari Jawa Tengah, “Manuk Dadali” dari tanah Sunda, “Putri Cening Ayu” dari Bali, “Sajojo” dari Papua. Dan ada pula lagu nasional “Syukur”, lagu tematik “Nusantara”, hingga “Inspirasi Diri” yang baru saja lahir.

Di balik itu semua, ada hal yang lebih penting. Pagelaran ini bukan sekadar tontonan. Ia adalah ruang perjumpaan. Generasi tua dan muda bertemu, desainer papan atas berdampingan dengan penari yang baru terpilih lewat audisi nasional. Ada 27 anak muda dari Aceh, Bali, Kalimantan, Papua, dan daerah lain yang kini menari bersama di panggung yang sama. Mereka adalah wajah Indonesia baru, yang tetap berakar pada budaya lama.

Executive Producer Silvi Liswanda menyebutnya “kebanggaan”. Tapi mungkin kata itu masih terlalu sempit. Yang muncul di panggung nanti adalah rasa identitas—perasaan bahwa kita ini memang beragam, tapi diikat oleh satu simpul yang tak terlihat.

Di akhir pagelaran, seluruh penari menutup dengan koreografi berjudul “Kemenangan Besar”. Di situ, gerak tubuh menjadi doa, kostum menjadi lambang, musik menjadi semangat. Dan mungkin kita, para penonton, akan pulang dengan perasaan hangat: bahwa Indonesia ini, dengan segala riuh rendahnya, masih punya kekuatan besar yang menjaga kita tetap bersama—budaya.

Dan di sanalah letak keindahannya. Bukan sekadar pada busana berpayet atau musik yang megah, melainkan pada kesadaran bahwa kita sedang merayakan diri kita sendiri. Seperti kata Umar Kayam dalam banyak esainya, kebudayaan adalah rumah tempat kita pulang.

Maka, Hikayat Nusantara nanti bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah rumah yang sedang mengundang kita semua—untuk masuk, duduk, mendengar, dan merasa bahwa kita adalah bagian dari kisah yang sama: Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar