Essay Mahar Prastowo
A+
Hari Minggu itu, 24 Agustus 2025, suasana Hotel Luminor Jambi lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ada hajatan pernikahan atau seminar bisnis, melainkan karena ada sekumpulan anak muda yang sedang mencari jati diri. Mereka menamakan diri Pemuda Peduli Nias (PPN).
A+
Hari Minggu itu, 24 Agustus 2025, suasana Hotel Luminor Jambi lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ada hajatan pernikahan atau seminar bisnis, melainkan karena ada sekumpulan anak muda yang sedang mencari jati diri. Mereka menamakan diri Pemuda Peduli Nias (PPN).
Di ruang pertemuan, bendera merah putih berdiri tegak di samping podium. Satu per satu tamu hadir. Ada Plt. Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Jambi Amidy, ada Kabid Organisasi Ahmad Sanusi, ada juga para ketua PPN dari kabupaten/kota se-Jambi. Mereka duduk bersanding dengan Urbanus Tafonao, Ketua PPN Jambi.
Urbanus tampil sederhana, tapi kalimatnya tegas: “Pemuda Nias di Jambi harus berperan aktif menjaga kebersamaan, solidaritas, baik dengan sesama masyarakat Nias maupun dengan suku-suku lain. Jangan ada perdebatan, jangan ada pertentangan. Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi tetap bersatu.”
Kalimat itu disambut tepuk tangan. Bukan karena manis retorikanya, tetapi karena relevan. Di Jambi, komunitas Nias cukup banyak. Mereka datang sejak lama, sebagian untuk berdagang, sebagian lagi karena tugas, dan sisanya merantau mencari kehidupan lebih baik.
PPN sendiri baru seumur jagung—sekitar setahun lebih. Tapi kiprahnya lumayan padat. Mereka ikut pawai budaya, meramaikan HUT Provinsi Jambi, bahkan turut serta dalam peringatan 17 Agustus. Satu hal yang mereka kejar: pengakuan dan kebermanfaatan.
“PPN sudah resmi terdaftar di Kesbangpol,” ujar Urbanus, seakan ingin menghapus keraguan.
Amidy, pejabat Kesbangpol, membalas dengan pujian. Ia menyebut anak-anak muda Nias ini telah ikut menjaga ketentraman di Jambi. “Mari bergandengan tangan untuk Jambi yang lebih baik,” katanya.
Lalu Ahmad Sanusi menambahkan. Ia mengingatkan tentang empat pilar kebangsaan. Sesuatu yang sering terdengar klise, tapi tetap penting diingat, apalagi untuk organisasi yang sedang mencari arah.
Yang menarik, PPN tidak berhenti di urusan seremoni. Urbanus sudah menyiapkan agenda besar: membentuk Lembaga Adat Nias di Jambi. Lembaga itu nantinya akan membahas soal-soal adat—pernikahan, kematian, sampai urusan sosial budaya.
Itu sebuah langkah strategis. Sebab, adat biasanya lebih kuat dari organisasi. Ia bisa menyatukan, bisa juga melerai. Dan dalam masyarakat perantau, adat adalah identitas terakhir yang tidak bisa ditukar.
Acara di Hotel Luminor itu akhirnya lebih dari sekadar sosialisasi. Ia jadi momentum. Pemuda Nias di Jambi sedang menata diri. Dari sekadar kumpul-kumpul organisasi, menuju ke pengakuan adat.
Kalau itu berhasil, mungkin suatu saat orang tidak lagi mengenal PPN hanya sebagai komunitas pemuda. Tapi sebagai sebuah kekuatan sosial yang punya akar budaya, berdiri tegak di tanah rantau, dan tetap menjaga satu hal: Indonesia sebagai rumah bersama.
____________________________________________________________
Dari catatan liputan M Rosyid, Jurnalis LUGAS di Jambi
0 Komentar