| Antara Whoosh dan Landbridge: Lintasan Cepat, Arah yang berbeda |
Essai Mahar Prastowo
Publik Indonesia kembali gaduh. Kali ini bukan soal harga tiket atau molornya proyek, tapi soal perbandingan. Katanya, Arab Saudi bisa membangun Saudi Landbridge _ jalur kereta lebih dari 1.000 kilometer _ dengan biaya “hanya” Rp112 triliun. Sementara Indonesia, untuk membentangkan Whoosh sepanjang 142-kilometer dari Jakarta ke Bandung, harus merogoh kocek Rp113 triliun.
Angka-angka ini viral, tajam, dan tampak sederhana. Padahal di baliknya, seperti biasa, ada konteks yang hilang.
Saudi Landbridge: Jembatan Darat dari Laut Merah ke Teluk Arab
Arab Saudi bukan baru kali ini membangun proyek besar. Landbridge adalah proyek raksasa senilai USD 7 miliar atau sekitar Rp112 triliun. Jalurnya membentang dari Pelabuhan Jeddah di Laut Merah, menyeberangi gurun pasir menuju Pelabuhan Dammam di Teluk Arab_sekitar 1.300 kilometer.
Fungsi utamanya bukan mengangkut manusia, melainkan barang dagangan dunia. Selama ini, kapal dari Asia yang hendak ke Eropa harus memutar melewati Terusan Suez. Dengan Landbridge, kargo bisa diturunkan di Jeddah, diangkut kereta melintasi daratan, lalu dinaikkan kembali ke kapal di Dammam. Hasilnya: waktu tempuh logistik global bisa dipangkas 8–10 hari.
Landbridge dikerjakan oleh Saudi Arabia Railways (SAR) dengan pola public-private partnership (PPP). Pemerintah Saudi menanggung pembebasan lahan dan sebagian konstruksi, sementara operasi dan investasi sebagian besar dibiayai konsorsium swasta internasional.
Selain itu, proyek ini juga bukan kereta cepat dalam pengertian high-speed rail seperti Whoosh. Kecepatannya “hanya” 160 km/jam_cukup untuk logistik, tapi jauh di bawah 350 km/jam yang diusung Whoosh.
Whoosh: Cepat, Mahal, dan Menjadi Simbol
Di sisi lain, Whoosh adalah proyek prestise. Jalur 142-kilometer yang membentang dari Halim ke Tegalluar bukan hanya rel, tapi pernyataan politik: Indonesia mampu.
Dengan kecepatan operasional 350 km/jam, Whoosh memang bukan proyek logistik, melainkan transportasi penumpang berkecepatan tinggi pertama di Asia Tenggara.
Biayanya membengkak dari perkiraan awal USD 6,07 miliar menjadi sekitar USD 7,3 miliar _ setara Rp113 triliun. Sebagian besar dibiayai lewat pinjaman dari China Development Bank (CDB) dengan bunga 3,4% dan tenor 40 tahun. Struktur pembiayaannya adalah business to business (B2B) antara konsorsium Indonesia (PT KCIC) dan Tiongkok, bukan proyek negara sepenuhnya.
Kelemahan dari proyek B2B seperti ini adalah sulitnya melakukan efisiensi lintas sektor. Pemerintah tidak bisa mengatur tarif, suku bunga, atau desain tanpa negosiasi panjang.
Mengapa Landbridge Lebih “Murah”?
Pertama, karena fungsinya berbeda. Landbridge adalah freight railway_kereta barang. Biaya per kilometernya bisa setengah atau bahkan sepertiga dari high-speed passenger line.
Kedua, Landbridge tidak memerlukan viaduk panjang, terowongan kompleks, atau jembatan layang yang mahal. Sementara 80% jalur Whoosh dibangun melayang di atas struktur beton karena melintasi daerah padat penduduk dan topografi pegunungan.
Ketiga, biaya lahan. Arab Saudi punya tanah negara yang luas, hampir tanpa biaya pembebasan. Indonesia? Setiap meter persegi di Bekasi, Karawang, atau Bandung punya pemilik. Biaya sosialnya tinggi.
Keempat, sistem pembiayaan. Saudi menggunakan model state-backed PPP dengan pembagian risiko antara publik dan swasta. Indonesia menanggung beban utang lebih besar melalui skema pinjaman luar negeri yang dikonversi menjadi penyertaan modal negara.
Membandingkan dengan Dunia
China membangun 40.000 km jalur kereta cepat dengan biaya rata-rata USD 17–21 juta per km. Jepang, dengan standar keselamatan tinggi, mencapai USD 30 juta/km. Sementara Indonesia menghabiskan sekitar USD 50 juta/km_setara dengan negara Eropa seperti Spanyol dan Italia.
Namun, efisiensi bukan semata soal angka. Di Jepang, proyek Shinkansen menjadi tulang punggung ekonomi antarwilayah: menghidupkan kota kecil, menekan urbanisasi, dan memperluas pusat industri. Di Tiongkok, jalur cepat menghubungkan provinsi terpencil dengan kawasan industri pesisir.
Pertanyaannya kini: apakah Whoosh akan jadi penggerak ekonomi, atau sekadar etalase teknologi?
Dua Filosofi, Dua Arah
Landbridge adalah proyek ekonomi yang memakai kereta sebagai alat. Whoosh adalah proyek simbolik yang memakai ekonomi sebagai alasan.
Arab Saudi berpikir dalam skala logistik global: menghubungkan dua laut, memotong rute perdagangan dunia, dan menjadikan negaranya simpul logistik internasional. Indonesia, sebaliknya, berpikir tentang konektivitas antarpenduduk dan mobilitas perkotaan.
Keduanya sah. Tapi arah menentukan hasil.
Dari Rel Menuju Visi
Kini Landbridge sedang dikerjakan, ditargetkan rampung pada 2028. Sementara Whoosh sudah melaju, dengan target perluasan ke Surabaya.
Keduanya sama-sama ambisius. Bedanya, satu mengangkut kargo lintas benua, satu lagi mengangkut manusia lintas kota.
Namun di balik perbandingan itu, ada satu pelajaran besar: bahwa teknologi hanyalah alat. Yang menentukan nilai dari proyek bukanlah kecepatannya, tapi arah perjalanan ekonomi yang diantarnya.
“Kereta cepat tak bisa diukur dari panjang relnya. Tapi dari seberapa jauh ia membawa bangsa ini keluar dari kemacetan berpikir jangka pendek.”
Essai ini telah terbit di sini
0 Komentar