Oleh: Mahar Prastowo
Ada cerita kecil dari Luwu Utara.
Cerita yang terlalu kecil untuk negeri sebesar Indonesia.
Tapi justru karena kecil itulah ia begitu menyakitkan.
Cerita tentang dua puluh ribu rupiah.
Dan dua guru yang hampir kehilangan segalanya.
Awalnya hanya keluhan kecil.
Sepuluh guru honorer.
Sepuluh bulan tanpa gaji.
Hanya karena nama mereka belum masuk dapodik-sistem yang katanya sakral itu.
Kalau tidak terdaftar, ya tidak digaji.
Sesederhana itu.
Sesederhana ketegasan sebuah komputer yang tak mengenal rasa iba.
Kepala sekolah gelisah.
Guru-guru prihatin.
Orang tua murid ikut iba.
Akhirnya mereka berkumpul.
Mufakat.
"Bagaimana kalau kita bantu Rp20 ribu per siswa?"
Dua puluh ribu.
Harga dua piring nasi goreng Jumber (Jumat Berkah).
Harga satu botol air mineral di bandara.
Yang punya dua anak, bayar sekali.
Yang tak punya uang, tak usah ikut.
Begitu manusiawi.
Begitu Indonesia sekali.
Begitu gotong royong.
Lalu semua berlanjut seperti biasa.
Anak-anak tetap sekolah.
Guru honorer tetap mengajar.
Negeri ini tetap sibuk dengan hiruk-pikuk politiknya.
Hingga sebuah laporan masuk.
Dan negara pun datang. Dengan muka serius.
Sebuah LSM melapor.
Katanya, pungutan liar.
Polisi bergerak.
Guru-guru dipanggil.
Dua ditetapkan sebagai tersangka.
Cerita sederhana tadi berubah jadi barang bukti.
Saya selalu heran pada negara.
Ketika ada anak putus sekolah, negara lambat.
Ketika ada guru digaji tidak layak, negara cuek.
Tapi ketika ada Rp20 ribu-negara super cepat.
Berkas dilempar ke kejaksaan.
Dikembalikan.
Diperbaiki.
Dibalikin lagi.
Lalu Inspektorat turun.
Kesimpulannya?
Tidak ada kerugian negara.
Tidak ada korupsi.
Di pengadilan Tipikor, kedua guru bahkan diputus bebas.
Hakim menepuk meja: tidak terbukti.
Guru-guru itu menang.
Tapi hanya sebentar.
Jaksa kasasi. Dan kemenangan itu dirampas.
Mahkamah Agung memutuskan:
kedua guru bersalah. Satu tahun penjara.
Mereka menjalani hukuman.
Tidak melawan.
Tidak marah.
Mereka guru.
Terbiasa bersabar.
Selesai dari penjara, mereka pikir petaka sudah lewat.
Ternyata belum.
Belum sama sekali.
Surat PTDH datang.
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat.
Hanya kalimat singkat, tapi memenggal masa depan.
Guru yang dulu dihormati murid-kini tak punya sekolah.
Yang dulu mengajar-kini hanya bisa menatap kosong papan tulis yang tak lagi miliknya.
Lalu pecah suara dari ribuan guru.
Luwu Utara ribut.
Guru-guru turun ke jalan.
DPRD didatangi.
Kantor Bupati digetarkan.
Bukan karena uang.
Bukan karena politik.
Tapi karena mereka mengerti.
Jika dua guru itu bisa diperlakukan begitu, siapa yang bisa merasa aman?
Keadilan kadang punya kaki yang pendek.
Tapi Aksi para guru membuat langkahnya terdengar.
Sampai akhirnya, kabar itu datang dari tempat tertinggi di republik ini:
Presiden memperhatikan kasus tersebut.
Dan tiba-tiba, semua bergerak cepat.
Negara_yang sempat buta_akhirnya melihat.
Dua guru itu dibebaskan.
Status hukum mereka dipulihkan.
Nama baik mereka dikembalikan.
PTDH dibatalkan.
Dua orang yang hampir hilang ditelan sistem akhirnya kembali ke kelas.
Ke papan tulis.
Ke dunia yang memang seharusnya jadi rumah mereka.
Negara akhirnya mengakui kesalahannya.
Walau telat.
Tapi setidaknya tidak terlambat.
Tapi ada pertanyaan yang lebih besar dari semuanya:
Jika dua guru itu tidak viral, apakah negara akan peduli?
Jika para guru tidak bersuara, apakah keputusan akan sama?
Dan jika Presiden tidak turun tangan _ apakah keadilan tetap akan menemukan jalan?
Kisah ini sudah selesai.
Tapi sistem yang melahirkannya_belum.
Negara kita masih punya pekerjaan rumah besar:
belajar membedakan niat baik dari kejahatan.
belajar bahwa gotong royong bukan korupsi.
belajar bahwa guru bukan musuh negara.
Dua puluh ribu itu mungkin kecil.
Tapi ia berhasil memperlihatkan betapa besar masalah yang sedang kita hadapi.
Selamat kembali mengajar, Pak Rasnal.
Selamat kembali berdiri di depan kelas, Pak Abdul Muis.
Indonesia punya utang besar pada dua guru itu_
utang bernama kewarasan.
[mp]
Baca artikel lainnya di sini

0 Komentar