7 celah impor yang jarang dibahas (Grafis: MPSyndicates)


A+ | 

Ada satu rahasia besar yang tidak banyak diketahui publik: mafia impor tidak bekerja di pelabuhan saja.
Mereka bekerja di ruang kosong - ruang di antara aturan.
Ruang di antara kementerian.
Ruang di antara aplikasi yang tidak saling bicara.

Karena itu, memerangi mafia impor bukan sekadar menegur Bea Cukai.
Perlu melihat belasan pintu lain yang selama ini dibiarkan terbuka.

Inilah 7 celah paling mematikan - yang jarang dibahas, dan jarang muncul di media arus utama.


1. Celah Harga: Under-Invoicing 30-70% yang Tidak Terdeteksi Sistem

Ini celah terbesar dan paling tua.
Mereka mengajukan invoice USD 10, padahal harga pasarnya USD 30.

Akibatnya:

  • Pajak impor kecil.
  • Bea masuk kecil.
  • PPN kecil.
  • Negara rugi, mafia untung besar.


Yang jarang orang tahu:
beberapa negara tertentu bahkan menyediakan “invoice formal” murah khusus ekspor ke Indonesia.
Legal di negara asal, ilegal di kita.

Itulah sebabnya under-invoicing tidak bisa diberantas hanya di pelabuhan.
Sumbernya ada di kantor eksportir luar negeri.


2. Celah HS Code: Mengubah Kategori Barang Agar Tarifnya 0%

Inilah yang membuat “kertas” bisa berubah menjadi “bahan baku industri”,
yang membuat “baju fashion” berubah menjadi “sample”,
yang membuat “besi jadi” berubah menjadi “scrap”.

Satu perubahan HS Code bisa menurunkan tarif dari 10% menjadi 0%.

Tidak ada media yang mau menulis detail ini karena rumit.
Padahal ini cara tercepat mafia mengecoh negara.

Dan anehnya, banyak perubahan HS Code diajukan bukan oleh importir…
tapi oleh konsultan tarif yang dibayar sangat mahal.


3. Celah Regulasi Lintas Kementerian: “Perizinan yang Tidak Sinkron”

Impor itu bukan urusan Bea Cukai saja.
Ada belasan kementerian dan lembaga lain:

  • Kemendag
  • Kemenperin
  • Kemenkes
  • BPOM
  • KKP
  • KLHK
  • Kemkominfo
  • dan lainnya


Setiap kementerian mengeluarkan aturan.
Masalahnya:
aturan kementerian A sering bertabrakan dengan kementerian B.

Di celah itulah mafia masuk:
mereka pilih aturan yang paling menguntungkan, atau yang paling longgar.

Dan ketika terjadi pelanggaran?
Tetap Bea Cukai yang disalahkan.


4. Celah Re-Import: Barang Impor yang Seolah-olah Sudah Diproduksi Indonesia

Mafia memanfaatkan program “return goods” atau “barang retur”.

Skemanya begini:

1. Mereka impor barang murah dari negara A.
2. Mereka re-ekspor kembali barang itu ke negara B - hanya formalitas.
3. Mereka impor lagi barang yang sama dengan klaim: barang retur produksi Indonesia.

Karena dianggap barang kita, tarif pajaknya berubah drastis.
Beberapa sektor bahkan mendapat insentif.

Barangnya sama.
Asalnya tetap dari luar.
Tapi status hukumnya berubah.


5. Celah Penerbitan SNI, Izin Teknis, dan Klaim “Bahan Baku Khusus Industri”


Ini celah kelas kakap.

Untuk beberapa komoditas, jika dinyatakan sebagai “bahan baku industri”, maka:

  • tarif impor bisa turun, bahkan 0%
  • pemeriksaan fisik jadi minimal
  • volume impor bisa sangat besar tanpa curiga


Mafia melakukan dua langkah:
1. Membeli pabrik lokal kecil (cukup punya NIB dan beberapa dokumen).
2. Menggunakan pabrik itu untuk mendapatkan izin “bahan baku industri”.

Padahal pabrik itu tidak pernah produksi.
Tidak pernah punya mesin.
Tidak pernah ada karyawan.

Tapi izinnya dipakai untuk impor ribuan ton.


6. Celah Pelabuhan Kecil dan Jalur Tikus Resmi

Kita sering membayangkan penyelundupan dilakukan lewat pelabuhan gelap.
Tidak selalu.

Sering kali mafia menggunakan pelabuhan kecil resmi:

  • tidak ada scanner modern
  • tidak ada tim intelijen
  • petugas hanya sedikit
  • kedatangan kapal tidak padat


Di sanalah barang undervalue, ilegal, atau salah HS Code diselipkan.

Ada pula jalur-jalur “semi-resmi” berupa:

  • pelabuhan sungai
  • dermaga industri
  • kawasan bebas
  • kawasan ekonomi khusus.


Tidak ada wartawan.
Tidak ada keramaian.
Tidak ada noise.
Mafia bekerja dalam sunyi.


7. Celah Konsolidasi Kargo (Undername): Banyak Barang Disatukan di Satu Kontainer

Inilah celah paling modern.

Kontainer konsolidasi (LCL) - di mana barang banyak importir disatukan - sangat rawan.

Sebab:

  • Importir A benar.
  • Importir B benar.
  • Importir C benar.
  • Importir D mafia.


Barang D disembunyikan di antara A, B, C.

Karena dokumen banyak pemilik, sistem scanning terkadang hanya membaca totalitas manifest, bukan granular.

Maka kontainer LCL menjadi surga bagi:

  • barang selundupan kecil
  • elektronik branded
  • sparepart ilegal
  • kosmetik ilegal
  • vape ilegal
  • produk farmasi gelap


Yang paling berbahaya: barang D itu sering memakai “undername importir”.
Nama importir yang sebenarnya tidak ada.


Mafia Tidak Datang dari Pelabuhan, Mereka Datang dari Celah

Mafia impor bukan soal satu gedung.
Bukan soal satu instansi.
Bukan soal satu menteri.

Mereka hidup di antara garis-garis aturan.
Di antara kementerian.
Di antara sistem IT yang tidak saling bicara.
Di antara pintu kecil yang tidak diawasi.
Di antara manusia-manusia yang sudah paham pola sejak 20 tahun lalu.

Dan celah tidak bisa ditutup dengan ancaman.
Celah ditutup dengan:

  • data yang terintegrasi
  • audit harga yang konsisten
  • panel independen yang kuat
  • tim mobile anti-mafia
  • sistem risk management yang real


Untuk menutup mafia impor, kita tidak cukup membenahi pintu.
Kita harus menutup celah.
Bukan dengan memecat 16.000 pegawai.