Percakapan Mendalam A+ Bersama Wilson Lalengke





Pengantar

Dalam beberapa waktu terakhir, isu dugaan ijazah palsu seorang tokoh publik kembali menjadi pembahasan hangat. Banyak pihak memilih diam, sebagian lain berbicara setengah hati. Namun, bagi Wilson Lalengke, seorang aktivis dan pemerhati kebijakan publik, kebungkaman justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri.

A+ menggali lebih dalam pandangannya tentang urgensi penuntasan kasus ini serta bagaimana ia melihat kebohongan sebagai ancaman moral dan politik bagi bangsa, dalam sebuah wawancara khusus.


A+: Mengapa Anda menilai kasus dugaan ijazah palsu ini sangat penting untuk dituntaskan?

Wilson Lalengke:
Karena ini bukan sekadar persoalan administratif. Ini menyangkut integritas seorang pemimpin. Kita tidak bisa membangun bangsa di atas kebohongan. Jika dugaan itu benar, itu adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Jika dugaan itu salah, penyelesaiannya tetap penting untuk mengembalikan kepercayaan publik. Dalam kedua kondisi, kebenaran tetap harus dihadirkan.


A+: Anda menggunakan istilah “kebohongan sebagai tirai berduri”. Apa maksudnya?

Wilson:
Kebohongan itu ibarat tirai yang bukan hanya menutupi, tetapi juga melukai siapa saja yang mencoba membuka kebenaran. Kita hidup di masyarakat yang makin permisif terhadap kebohongan. Ini berbahaya. Ketika kebohongan dianggap biasa, keadilan mati perlahan. Dan ketika keadilan hilang, kehancuran moral bangsa tinggal menunggu waktu.


A+: Dalam artikel Anda, Anda menyebut tiga alasan utama mengapa kasus ini harus diselesaikan. Bisa dijelaskan ulang secara ringkas?

Wilson:
Pertama, integritas pribadi pejabat publik. Rakyat berhak tahu apakah pemimpinnya jujur atau manipulatif.
Kedua, kredibilitas institusi, baik pendidikan maupun hukum. Jika kasus ini dibiarkan, sistem kita dianggap mudah dimanipulasi.
Ketiga, masa depan bangsa. Generasi muda belajar dari apa yang mereka lihat. Jika kita membiarkan kebohongan, mereka akan menyimpulkan bahwa manipulasi adalah jalan pintas menuju kekuasaan.


A+: Apakah menurut Anda kebohongan bisa dikalahkan oleh kebenaran?

Wilson:
Kebohongan memang berlari cepat, tapi kebenaran selalu menang pada akhirnya. Masalahnya, ketika kebenaran muncul, kerusakan moral yang ditimbulkan kebohongan itu sering sudah terlanjur parah. Itulah sebabnya kebohongan harus dihentikan sejak awal, bukan dibiarkan menumpuk hingga bangsa ini tercekik oleh konsekuensinya.


A+: Anda menekankan bahwa penyelesaian kasus ini adalah tanggung jawab bersama. Siapa saja yang Anda maksud?

Wilson:
Semua pihak.
Rakyat mesti berani menuntut transparansi.
Media harus berani membuka fakta.
Akademisi jangan takut bersuara.
Aparat penegak hukum wajib tegak lurus pada hukum.

Diam berarti membiarkan kebohongan tumbuh. Dan setiap kebohongan yang tumbuh adalah ancaman bagi masa depan bangsa.


A+ : Ada pihak yang berpendapat bahwa isu ini politis. Bagaimana Anda menanggapi?

Wilson:
Justru karena ini menyangkut moral publik, ia pasti punya implikasi politik. Tapi jangan dibalik. Bukan pembahasan kasusnya yang politis—melainkan manusianya, karena ia berada di ruang kekuasaan. Kita harus bisa memisahkan. Kebenaran tidak boleh dikorbankan hanya karena ada pihak tertentu yang kebetulan sedang berkuasa atau sedang disorot.

Di negara yang sehat, pemimpin harus diuji integritasnya. Itu bukan serangan politik. Itu bagian dari pertanggungjawaban publik.



A+: Apa pesan moral utama dari seruan Anda?

Wilson:
Bahwa kebohongan adalah akar segala kesengsaraan umat manusia. Tidak ada bangsa yang bisa tumbuh di atas kepalsuan. Kita harus memilih: apakah kita mau menjadi bangsa yang berani menegakkan kebenaran, atau bangsa yang rela tenggelam dalam kebohongan. Pilihan itu akan menentukan masa depan kita.


A+: Dan terakhir, apa harapan Anda terhadap penyelesaian kasus ini?

Wilson:
Saya berharap apa pun hasilnya—apakah ada kepalsuan atau tidak—semuanya diumumkan secara terbuka. Jika benar ada kepalsuan, pelakunya harus bertanggung jawab. Jika tidak, nama baiknya harus dipulihkan. Kebenaran harus hadir. Tanpa itu, kita tidak akan pernah bisa membangun bangsa ini dengan kokoh.



Penutup

Wawancara ini mengingatkan kita bahwa isu dugaan ijazah palsu bukan sekadar perdebatan teknis, melainkan pertaruhan moral dan politik bangsa. Wilson Lalengke menegaskan, kebenaran mungkin datang terlambat, tetapi ia tidak pernah gagal.

Dan hanya bangsa yang menegakkan kebenaran yang akan mampu bertahan menghadapi masa depan.