A+

6/recent/ticker-posts

AIR MATA PAK HARTO








Probo Sering Kritik Pak Harto


WAWANCARA 01: Probosutedjo


MTI: Sewaktu Pak Harto berkuasa, Pak Probo sering sekali melontarkan kritik-kritik pedas, termasuk peringatan agar tak bersedia lagi dicalonkan menjadi Presiden. Itu pura-purakah atau sungguh-sungguh?


PROBO: Banyak orang yang mengatakan itu pura-pura. Tapi benar-benar waktu itu bukanlah pura-pura. Karena saya selalu streng. Saya sebutkan bahwa saya menyadari Indonesia ini didirikan oleh pejuang-pejuang kemerdekaan yang ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya pejuang-pejuang itu sendiri.


Kalau sampai nanti para pejuang tidak bisa menikmati hasil pembangunan mereka akan sakit hati. Kalau sakit hati artinya mereka nanti akan mengadakan perlawanan terhadap pemerintah. Kalau sampai terjadi perlawanan akhirnya akan rusak sendiri. Itulah akhirnya maka saya berani mengkritik itu.


Saya sering dimarahi dan sering beberapa hari, kalau saya datang ke sana tidak ditegur didiamkan begitu saja. Jadi misalnya kursinya seperti segitiga begitu, saya duduk sebelah sana, Pak Harto di sini lalu ada Bu Harto, dia bisa tidak mau melihat kepada saya karena marahnya saya kritik. Jadi saya juga diam saja. Tidak ditegur biar saja saya lalu menonton televisi saja. Begitu terus. Lalu setelah Pak Harto pergi, saya masih saja menonton televisi, datanglah Bu Harto. Dan nantinya Bu Harto cuma ketawa saja begitu.


Jadi saya sering kali ditegurnya, “Kamu itu mengeritik menteri seenaknya saja. Menteri itu kan orang kepercayaan saya. Kamu mengeritik menteri berarti mengeritik saya.” “Ya, nggak begitu Mas,” saya bilang. “Maksudnya saya menteri itu jangan sampai berbuat salah, begitu.”


Waktu itu sering-sering saya didiamkan saja. Menteri-menteri jamannya Pak Harto sama saya juga agak segan tidak berani berbuat macam-macam sehingga kalau saya mau ketemu menteri, menteri itu pasti langsung mau menerima. Karena tahu saya tidak pernah minta fasilitas tapi akan menyampaikan informasi-informasi yang penting. ►mti



WAWANCARA 02: Probosutedjo
Air Mata Pak Harto


MTI: Apa pandangan Pak Harto mengenai keadaan terbaru bangsa saat-saat terakhir ini?


PROBO: Dia mengatakan mengapa barang-barang serba susah, keadaan menjadi begini, lapangan kerja tidak tersedia. Barang-barang sudah tidak terbeli oleh rakyat. Sebetulnya mahal sih tidak tetapi tidak terbeli karena rakyat tidak punya duit, pekerjaan tidak ada.

Koran tadi pagi menulis kemiskinan di Indonesia sudah mencapai 54 persen. Itu sesungguhnya bukan-lah jumlah orang miskin yang sebenarnya. Sebab persentase itu diperoleh hanya diukur berdasarkan kemampuan orang membayar di rumah sakit.


Jadi kemiskinan itu luar biasa sekali. Sebelum jaman Pak Harto besarnya 36 persen, pada masa Pak Harto berhasil berkurang jauh sekali. Nah sesudah Pak Harto lengser kemiskinan naik lagi menjadi 36 persen, dan sekarang semakin naik menjadi 54 persen. Itulah keadaannya. Membaca berita-berita seperti itu, Pak Harto pasti akan sedih. Kok makin sulit saja keadaan bangsa ini, pikirnya.


Sewaktu Pak Harto menonton televisi melihat ada rakyat mati busung lapar dan banyak orang antri minyak tanah, Pak Harto sampai menangis. Itu betul, saya melihat sendiri seperti itu. Dia betul-betul sedih, kok semua jadi begini. Jadi bukan Pak Harto yang bicara tapi memang betul-betul saya yang melihat seperti itu. Ia betul-betul sedih. Pak Harto menangis melihat keadaan Indonesia yang makin miskin.


MTI: Sudah sangat seekspresif itukah Pak Harto, tidak hanya bersedih lagi melainkan sudah sampai menangis meneteskan air mata?


PROBO: Ya, tidak hanya bersedih tapi sudah sampai menangis melihat kejadian-kejadian ini.


Begitu juga mengenai Pilkada. Dulu sebenarnya itu sudah direncanakan juga. Tapi sudah dengan perhitungan kalau dilaksanakan pasti muncul keributan. Karena di Indonesia demokrasi belum bisa diterapkan secara liberal, seperti yang terdapat di Amerika dan negara-negara Eropa lain. Di sana memang dilaksanakan pemilihan-pemilihan kepala daerah. Tetapi itu pun tidak sampai mendetail hingga pemilihan di kabupaten dan sebagainya.


Sekarang pemilihan sudah sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Padahal rakyat masih banyak yang buta huruf, miskin. Orang miskin gampang dibayar, siapa yang kasih duit itulah yang dicoblos. Kejadian seperti inilah yang terjadi di Indonesia. Kita ini mengapa kok tidak mau mempelajari hakikat sesuatu keputusan, yang mestinya dipertimbangkan dulu.


Tadi barusan saya mendapat cerita menarik dari seorang teman yang punya pabrik pakan ayam. Suatu ketika Menteri Pertanian yang sekarang memberitahukan kepada Charoen Phok Phand, investor asing Thailand pemilik pabrik pakan ayam terbesar di Indonesia, menterinya mau datang berkunjung. Charoen kemudian memberitahukan kepada asosiasi pakan ternak dan asosiasi peternak ayam. Karena menteri yang mau datang, Charoen memesan makanan dari perusahaan katering hotel Hilton. Katering lalu mempersiapkan makanan menteri dan rombongan.


Rombongan Mentan tiba dengan membawa makanan dalam kotak. Dia tidak mau memakan makanan yang disediakan Charoen. Akhirnya pengusaha-pengusaha ternak ayam dan pabrik pakan itu makan nasi kotak yang dibawa menteri. Makanan katering yang begitu banyak tidak dimakan.


Kalau dipikir-pikir, walau hanya untuk nasi kotak toh keluar juga uang departemen. Apa salahnya kalau makan di situ asalkan jangan terpengaruh, jangan sampai kena suap, ataupun jangan sampai memberi fasilitas kepada pengusaha peternak ayam itu.


Di situlah cara berpikir yang kurang panjang. Seakan-akan bersih tidak mau menerima pemberian padahal untuk makan di situ saja. Kan supir-supir dan pegawai-pegawai pertanian jarang makan yang enak. Itu makanan dari Hotel Hilton, kan enak semua, tapi mengapa tidak mau. Kalau kembali ke makanan sederhana begitu ngapain kita membangun.


MTI: Khusus mengenai berita tentang Pilkada, mengapa Pak Harto sampai menitikkan air mata saat menyaksikannya di televisi?


PROBO: Karena rakyat kita ini terbukti belum matang, beliau prihatin sekali rakyat belum matang. Setelah seorang kepala daerah terpilih nyatanya yang lain tidak puas juga.


Inilah yang menunjukkan kualitas bangsa ini masih rendah, masih perlu dididik. Demikian pula pemimpin-pemimpinnya perlu di re-educated lagi. Karena memang kita ini masih ketinggalan.


Di luar negeri bagaimanapun pendidikan diutamakan. Jepang bisa maju karena pendidikan. Di sana pendidikan didukung pemerintah sepenuhnya. Mestinya perlu 50 persen dari anggaran belanja untuk pendidikan.


Tadi pagi saya mendengar Mendiknas ngomong, memperingatkan kepada mahasiswa jangan salah memilih perguruan tinggi. Kok dia memperingatkan begitu? Bukankah yang berkewajiban membenahi perguruan tinggi itu Menteri Pendidikan. Dia memperingatkan supaya jangan salah pilih, diiklankan tiap hari, itu gimana, lucu dia itu.


Pemerintah kita ini belum memerhatikan pendidikan. Saya ingat, sewaktu menjadi guru di Pematang Siantar sama di Serbelawan, itu orang Batak kalau menyekolahkan anaknya dengan segala macam usaha. Banyak orangtua murid yang sering datang sama saya, anjangsana begitu, sering ngomong-ngomong. “Pak, ini anak saya supaya maju bagaimana caranya saya sudah korbankan segala sesuatunya untuk membiayai anak saya supaya menjadi pintar. Kalau perlu sawah pun saya jual untuk membiayai sekolahnya.”


Jadi segala-galanya dilakukan orangtua untuk biaya pendidikan anaknya. Pemerintah kita belum memikirkan begitu. Mestinya pemerintah memikirkan bagaimana supaya bangsa ini menjadi pintar. Makanya menteri pendidikan kita kalau orang Batak bangsa ini maju ya. Artinya, mengerti bahwa pendidikan itu adalah merupakan induk investasi yang paling besar dan segala sesuatunya.


Indonesia kurang maju pembangunannya karena pendidikan diabaikan, kurang dapat perhatian. Sekarang anggaran pendidikan katanya Rp 40 triliun, ini untuk sekian juta siswa, apa cukup, artinya sama dengan 4 miliar dolar AS. Jadi memang tidak ada artinya untuk pendidikan.


Saya ingat waktu sekolah sampai ke SMP buku-buku dikasih cuma-cuma. Naik kelas buku baru diserahkan lagi tanpa beli. Sekarang tidak demikian. Pemerintah tidak menyusun kurikulum supaya setiap siswa tidak perlu memikirkan buku-bukunya.


Yang paling merusak nasionalisme lagi sekolah-sekolah asing sekarang merajalela. Dulu itu tidak boleh sebab nasionalismenya tidak ada. Bukan cuma perguruan tinggi asing, tingkat SD pun sudah ada. ►mti/crs/ht/sh/sp,ms




Posting Komentar

0 Komentar