A+ | Jakarta
- Sejarah yang merentang panjang mengiringi perjalanan kebaya sebagai
busana perempuan Indonesia, membuatnya layak diperjuangkan sebagai
warisan budaya tak benda dari Indonesia. Hal tersebut yang sejak tahun
lalu tengah diupayakan oleh para pencinta kebaya yang tergabung dalam
Kebaya Foundation yang diketuai oleh Tuti Roosdiono.
Kamis (23/12/2021) pekan lalu, saat merayakan Hari Ibu bersama Ketua DPR RI Puan Maharani, hal tersebut disampaikan oleh Tuti.
“Selain
mengupayakan kebaya diakui sebagai warisan budaya tak benda dari
UNESCO, kami juga ingin pemerintah mendedikasikan satu hari sebagai Hari
Kebaya yang masuk dalam agenda hari penting nasional seperti halnya
hari batik yang dicanangkan pada 2009 silam,” kata Tuti.
Lebih
dari 20 orang perempuan mengenakan kebaya kutubaru bermotif bunga yang
dipadankan dengan batik sogan hadir dalam acara yang adakan di lobby
Nusantara di Gedung DPR RI. Penyanyi Krisdayanti atau biasa disapa KD
yang kini menjadi anggota Komisi IX DPR RI bersama Tuti Roosdiono juga
hadir dalam acara tersebut.
“Saya selalu menyempatkan waktu
kalau diundang atau diajak untuk terlibat dengan gerakan yang mendukung
kebudayaan kita, seperti yang dilakukan oleh Kebaya Foundation ini.
Sejak 2019 lalu, saya dan juga teman-teman perempuan di fraksi PDI
Perjuangan juga mendukung dan ikut berpartisipasi meramaikan gerakan
Selasa Berkebaya yang mulai digagas pada 2019 lalu. Jadi, tiap Selasa,
kami ke kantor dan beraktivitas dengan mengenakan kebaya,” KD
mengisahkan.
Gerakan #SelasaBerkebaya yang diceritakan KD
merupakan sebuah gerakan moral yang digagas dan diluncurkan pada 9 Juli
2019 oleh sejumlah perempuan pencinta kebaya yang tergabung dalam
Komunitas Kridha Dhari dan pegiat berkebaya yang tergabung dalam
Komunitas Perempuan Berkebaya. Inisiatif itu mendapat sambutan baik dari
masyarakat luas.
Selain KD dan para perempuan legislator di DPR
RI, beberapa menteri seperti Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga
ikut berpartisipasi dan mengaungkan gerakan #SelasaBerkebaya ini di
kementerian yang dipimpinnya.
Menteri Perhubungan Budi Karya
Sumadi pun mengimbau para pegawai perempuan di kementeriannya mendukung
dan berpartisipasi dalam gerakan ini.
Beberapa tahun terakhir,
ketertarikan perempuan Indonesia untuk kembali mengenakan kebaya untuk
beraktivitas sehari-hari makin terlihat.
Rahmi Hidayati, salah
seorang perempuan yang cukup awal mulai kembali mengenakan kebaya dalam
berbagai aktivitasnya, bahkan ketika mendaki gunung. Rahmi, merupakan
salah seorang inisiator Komunitas Perempuan Berkebaya yang kemudian
bersama Tuti mendirikan Yayasan Kebaya.
Sebagai busana, kebaya
sebenarnya memang sama sekali tak membatasi gerak perempuan sepanjang
dibuat dengan tekstil yang nyaman. Menurut KD, kebaya yang biasa
dikenakannya dengan padanan kain sama sekali tak menghambat
aktivitasnya.
“Kita harus menghapus pikiran bahwa kebaya itu repot dan menyusahkan untuk dikenakan,” katanya bersemangat.
Hal
senada juga dikisahkan oleh Nana Krit, model senior yang di masa
remajanya menjadi salah seorang penari di Swara Mahardika (SM), sebuah
sanggar seni yang dipimpin Guruh Sukarno Putra.
“Sejak remaja di
dekade 80an, saya sudah terbiasa berkebaya karena sering menari bersama
SM. Saat latihan dan pentas, kami biasa bergerak dinamis meskipun
berkebaya, berkain dan bersanggul. Sepulang latihan atau pentas, bila
kami harus pulang dengan kendaraan umu, ya itu kain dan kebayanya tetap
dipakai. Jalan ramai-ramai, tak jarang kami jadi tontonan orang yang
merasa aneh melihat anak-anak muda berkain kebaya," Nana mengenang
sambil tertawa.
Hal paling epik yang pernah dilakukannya,
menurut Nana adalah ketika Guruh mengajak anak-anak didiknya pergi ke
disko dengan kain dan kebaya.
“Kami tentu saja kaget dan tadinya
tak setuju dengan ide itu. Tapi Mas Guruh bilang, kami tak seharusnya
malu mengenakan kain dan kebaya ke mana pun untuk acara apa pun, karena
kebaya itu warisan budaya yang harus kita rawat dan hidupkan agar tak
hilang dari peradaban. "Ucapan Mas Guruh itu melekat sekali di hati saya
sampai sekarang,” kata Nana yang tak ragu mengemudikan mobilnya sambil
mengenakan kebaya pakem lengkap dengan sanggul menempel di kepala.
“Saya tak merasa repot sama sekali,” katanya.
Puan
Maharani yang menemui para perempuan berkebaya seusai menutup acara
Kampus Merdeka, Magang di Rumah Rakyat hari itu terlihat amat gembira
menyambut kehadiran para perempuan berkebaya tersebut. Ia pun tampil
anggun dalam balutan kebaya panjang berwarna putih kebiruan dengan
kutubaru dipadankan batik sutera warna tanah serta angkin cinde
menyembul dari balik bef kebayanya.
“Sejak pagi saya sudah pakai
kebaya dan jarik ini sebelum bertemu ibu-ibu semua. Senang sekali
rasanya bisa beraktivitas sambil mengenakan kebaya seperti ini, meski
langkah saya jadi harus lebih pelan dari biasanya. Tapi kain dan kebaya
ini membuat saya, dan mungkin juga ibu-ibu semua merasa anggun dan
lembut,” katanya disambut tepuk tangan dan anggukan kepala tanda setuju
dari para perempuan berkebaya.
Puan juga mengatakan, mendukung
segala upaya Tuti dengan Yayasan Kabaya dan para aktivis komunitas
kebaya lain untuk melestarikan kebaya, termasuk memperjuangkan kebaya
menjadi warisan budaya tak benda dari Indonesia dan agar Indonesia
memiliki hari kebaya.
“Kita harus saling mendukung inisiatif
baik, apalagi yang digagas oleh para perempuan yang ingin melestarikan
budaya. Kita harus bergandengan tangan mengupayakan yang terbaik yang
bisa kita lakukan,” kata Puan. (*)
0 Komentar