Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Bantuan Subsidi Upah: 150 Ribu, Dua Bulan Saja



Oleh Mahar Prastowo

Saya sampai harus menutup laptop sejenak. Menarik napas. Panjang.

Seratus lima puluh ribu rupiah.
Per bulan.
Selama dua bulan.
Untuk pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta.

Begitu pengumuman dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Hotel Grand Hyatt, Kuala Lumpur, Senin lalu. Entah kenapa, pengumuman itu tidak terdengar seperti kabar baik. Lebih terasa seperti: “ya sudahlah, ini yang bisa kami beri.”

Saya langsung teringat ucapan seorang buruh garmen di Cikarang. Namanya Bu Rini. Setiap hari ia menempuh dua kali angkot, satu kali ojek. Untuk berangkat kerja saja, ia sudah habis Rp20 ribu. Sekali jalan. Dua kali, Rp40 ribu. Satu hari kerja, uang transportnya lebih besar dari bantuan ini.

Padahal, BSU—bantuan subsidi upah—ini katanya mau jadi jurus pemerintah menjaga daya beli. Bahasa halus dari: “agar rakyat tidak makin sengsara.”

Tapi tunggu dulu. Bantuan ini tidak datang sendirian. Ada lima lainnya.

Pemerintah menyiapkan enam paket insentif. Semua dengan nama yang bagus-bagus. Diskon tol, diskon listrik, diskon transportasi. Semuanya diskon. Rakyat diminta senang karena dapat diskon. Padahal harga-harga sudah naik lebih dulu.

Diskon tol menyasar 110 juta pengendara. Apakah itu termasuk mobil dinas berpelat merah?

Diskon listrik untuk 79,3 juta rumah tangga pengguna daya di bawah 1.300 VA. Apakah itu cukup untuk menyalakan kipas angin, saat cuaca kini lebih panas dari biasanya?

Diskon transportasi—kereta, kapal laut, hingga pesawat—hanya berlaku saat libur sekolah. Apakah buruh seperti Bu Rini sempat liburan? Apakah ia punya cukup uang untuk tiket pesawat, walaupun sudah diskon?

Tambahan bansos pangan, kartu sembako, dan program diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja juga disiapkan. Tapi semuanya seperti parade bantuan jangka pendek di tengah masalah jangka panjang.

Seseorang di lingkaran istana pernah berbisik: “Ini bentuk kehadiran negara.”

Saya tidak membantah. Tapi saya tahu, rakyat tidak butuh negara yang ‘hadir’ hanya membawa sekotak permen saat mereka kelaparan.

Toh, niatnya mungkin baik. Seperti dulu saat pandemi. Tapi hari ini rakyat punya memori. Tentang bansos yang disunat. Tentang bantuan yang tersendat. Tentang data penerima yang amburadul.

Dan kali ini, bantuannya bahkan hanya dua bulan. Dua bulan saja. Itulah batas empati anggaran negara.

Kalau saja kita boleh bertanya dengan jujur:
“Apakah Rp150 ribu bisa menjaga daya beli?”

Saya yakin, bahkan Menteri pun tahu jawabannya: “Ini hanya stimulan.”

Ya, stimulan. Obat penunda lapar. Bukan penyelamat.

Saya membayangkan, kalau saja bantuannya dinaikkan jadi Rp500 ribu—tidak banyak memang—dan diberikan selama empat bulan. Tapi mungkin itu mimpi. Mimpi mahal, di tengah APBN yang megap-megap karena subsidi energi dan utang jatuh tempo.

Kini, yang bisa dilakukan rakyat adalah kembali bekerja. Walau dengan upah pas-pasan. Dengan harga barang yang terus naik. Dengan harapan yang makin susut.

Dan pemerintah? Cukup bilang: “Sudah kami bantu.”
Walau hanya Rp150 ribu.
Dua bulan saja.





Posting Komentar

0 Komentar