Oleh: Mahar Prastowo
Sejarah, bagi sebagian orang, adalah masa lalu yang sudah usai. Tapi bagi penguasa, sejarah adalah narasi. Dan narasi adalah kekuasaan.
Pekan lalu, sebuah kabar berembus dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek): pemerintah sedang menyiapkan penulisan ulang sejarah Indonesia. Biayanya: Rp9 miliar. Jumlah itu setara harga 3 rumah tipe 120 di pinggir Jakarta, atau 18.000 sak semen untuk membangun sekolah baru. Tapi bukan jumlahnya yang membuat ramai. Melainkan: kenapa sejarah perlu ditulis ulang?
**
Saya bukan sejarawan. Tapi saya percaya, sejarah itu cair. Selalu ada sisi yang terlupakan, dimanipulasi, bahkan dikubur. Penulisan sejarah memang pekerjaan seumur hidup. Namun, jika sebuah negara hendak menulis ulang sejarah resminya, publik berhak curiga. Apakah ini demi akademik? Atau demi kekuasaan?
**
Mari kita lihat ke belakang.
Tahun 1981, Orde Baru pernah mengukir sejarah versi mereka melalui buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Disusun tim sejarawan seperti Nugroho Notosusanto—yang juga jenderal dan menteri. Versi itu menebalkan peran militer, mengecilkan peran tokoh-tokoh kiri, dan membingkai sejarah dalam narasi “Negara kuat, rakyat taat.” Bertahan selama puluhan tahun di bangku sekolah.
Reformasi 1998 mengubah segalanya. Buku sejarah mulai guncang. Versi-versi alternatif bermunculan: soal G30S/PKI, Supersemar, bahkan kisah eksil 1965 yang tak pernah pulang. Tapi sayangnya, yang muncul kemudian justru kekacauan naratif. Anak muda Indonesia kini lebih mengenal “Fiersa Besari” ketimbang “Mohammad Hatta.” Lebih akrab dengan “Taylor Swift” daripada “Sutan Sjahrir.”
Di tengah kekosongan inilah, penulisan ulang sejarah ditawarkan. Dibalut ambisi untuk menyusun ulang “narasi besar kebangsaan.” Tapi siapa yang menyusun? Dan apa yang akan mereka masukkan?
**
Saya mencoba menelusuri.
Dari keterangan Kemendikbudristek, proyek ini bernama “Grand Narrative Sejarah Indonesia.” Timnya terdiri dari 25 sejarawan dari pelbagai perguruan tinggi. Dikatakan, penulisan ini bukan semata buku pelajaran, melainkan basis kurikulum, referensi nasional, dan “pemutakhiran memori kolektif.”
Sampai di sini, terdengar mulia. Tapi pertanyaan kritis muncul: siapa yang mengkurasi narasi ini? Apakah ada ruang untuk perspektif marjinal: kaum perempuan, buruh, petani, masyarakat adat? Bagaimana dengan tragedi 1965, Timor Leste, DOM di Aceh dan Papua? Ataukah semua itu akan kembali dibungkus sebagai “pengamanan nasional”?
“Yang menulis sejarah adalah para pemenang,” kata Winston Churchill. Di Indonesia, pemenang itu berganti-ganti.
**
Uang 9 miliar tentu bukan hanya untuk mengetik ulang cerita masa lalu. Ia juga akan digunakan untuk riset, rapat, seminar, validasi, hingga produksi buku. Tapi biaya bukan soal utama. Ini soal arah. Soal niat.
Saya teringat kisah kecil dari Tan Malaka. Dulu ia pernah menulis Madilog dengan tangan sendiri, sambil bersembunyi. Ia miskin, tapi gagasannya melimpah. Hari ini, sejarah Indonesia hendak ditulis ulang dengan jutaan rupiah tiap babnya—tapi kita tak tahu: gagasan siapa yang akan abadi?
**
Mengapa tak melibatkan publik? Di era digital ini, seharusnya narasi sejarah dibuka. Bukan disusun diam-diam lalu disodorkan sebagai kebenaran tunggal. Bukankah lebih baik jika narasi besar itu disusun bersama rakyat—lewat konsultasi terbuka, arsip digital, dan pelibatan komunitas akar rumput?
Negara terlalu sering menganggap sejarah hanya milik sejarawan. Padahal sejarah juga milik korban. Milik para penyintas, keluarga hilang, dan orang-orang yang selama ini disuruh diam.
**
Saya tidak menolak penulisan ulang sejarah. Tapi saya menginginkan sejarah yang jujur. Yang berani mengakui luka. Yang tak takut mengungkap dosa negara. Sejarah yang tidak dibayar untuk mengabdi pada kekuasaan.
Apa jadinya jika 9 miliar itu hanya menghasilkan buku setebal 300 halaman yang memutihkan masa lalu, memoles trauma, dan melukis kepalsuan sebagai kebanggaan? Lebih baik uang itu diberikan ke komunitas arsip, perpustakaan rakyat, atau digitalisasi sejarah lisan dari kampung-kampung.
**
Dalam dunia modern, pertempuran terbesar bukan lagi senjata. Tapi narasi. Amerika menang bukan hanya karena nuklir, tapi karena Hollywood. Cina membangun citra lewat Belt and Road, bukan tank. Dan Indonesia? Kita masih sibuk berdebat: sejarah mana yang benar?
Mungkin benar kata Pramoedya: orang bisa pintar setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dari sejarah.
Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah: jika yang menulis justru mereka yang ingin menghapus jejak-jejak kebenaran.
**
Penulisan ulang sejarah ini belum selesai. Tapi mari kita waspadai. Karena setiap narasi besar selalu mengandung kepentingan. Dan di balik setiap kata “kita”—selalu ada “mereka” yang ingin menguasainya.
Saya jadi ingat pembaca tanda zaman tahun 80-an, Ahmad Nur yang memperkenalkan jurnalisme mantera: "Hanya nasab, trah, sejarah yang tak pernah bohong. Ia mengalir di dalam nadi bersama darah." Tarombo kata orang Batak.
Rp9 miliar untuk sejarah? Tentu tak masalah.
Asal jangan untuk menghapus dan melupakan.
()
0 Komentar