A+ | Malam itu, di bawah cahaya lampu yang temaram dan tikar yang digelar seadanya, warga dan jurnalis duduk bersisian. Tidak ada jarak. Tidak ada sekat. Hanya gelas plastik berisi kopi hitam, sepiring gorengan, dan percakapan yang mengalir pelan—tentang masa lalu, kesalahpahaman, dan niat baik yang akhirnya menemukan jalannya.
Persoalan yang sempat menyita perhatian itu kini telah usai. Aminatus Sakdiyah, jurnalis yang sebelumnya mengalami gesekan dengan warga tempat tinggalnya karena aktivitas peliputan yang dianggap sensitif, kini duduk tenang di tengah pertemuan. Senyum lega tak bisa disembunyikan. Ia tak sendiri. Dukungan datang dari rekan-rekannya di Kelompok Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Sidoarjo dan sekitarnya, termasuk para pemangku wilayah RT dan RW yang mungkin masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya.
“Saya berterima kasih kepada semua pihak. Terutama kepada warga yang bersedia membuka hati dan ruang dialog. Kita sepakat, anak-anak adalah prioritas utama. Jangan sampai mereka jadi korban konflik orang dewasa,” ujar Aminatus singkat, penuh haru.
Kesepakatan damai ini bukan basa-basi. Dalam pertemuan yang berlangsung hangat itu, muncul komitmen bersama untuk memperbaiki sistem pengelolaan sampah di lingkungan. Aminatus tidak hanya minta maaf, tetapi juga menawarkan solusi. Ia membuka diskusi soal daur ulang, penanganan limbah domestik, hingga edukasi kebersihan kepada anak-anak—hal yang sebelumnya justru jadi pemicu konflik.

Ketua KJJT Sidoarjo, Arri Pratama, menegaskan bahwa jurnalis bukan musuh masyarakat. “Kami bukan datang untuk mempermalukan, tapi untuk mencatat, menggugah, dan memberi ruang kritik. Tapi kritik itu juga harus disampaikan dengan etika dan empati,” katanya.
Sebagai bentuk penutup konflik, pertemuan malam itu, jurnalis dan warga berikrar: kejadian ini menjadi pelajaran, bukan luka yang dibiarkan membusuk.
Kini, bukan hanya soal sampah yang dibersihkan. Tapi juga prasangka. Tak ada lagi pengucilan. Anak-anak kembali ke sekolah tanpa beban. Dan Aminatus, jurnalis yang sempat disalahpahami, justru menjadi jembatan baru untuk perubahan lingkungan.
[kjjt/Mahar Prastowo]
Baca juga:
[kjjt/Mahar Prastowo]
0 Komentar