![]() |
Kolase foto: BBC/Erik Prasetya/dan sumber terbuka |
“Di Negeri yang Kami Serahkan”
✍️Mahar Prastowo
Dulu kami turun ke jalan,
dengan dada penuh harap dan teriakan lantang:
“Reformasi!”
Tapi kini, lihatlah negeri ini,
menjadi pasar malam para bandit bersetelan rapi,
politik dijadikan palu godam—
menghancurkan cita, menggasak masa depan anak-anak kami.
Kami kira kami menang.
Kami kira Soeharto tumbang adalah akhir dari penindasan.
Ternyata, kami hanya membuka pintu lebih lebar,
bagi perampok yang lebih licik,
lebih sopan dalam dusta,
lebih canggih dalam mencuri.
Kami pernah percaya pada janji,
“Negeri ini akan adil,
rakyat akan makmur,
korupsi akan lenyap.”
Namun yang lenyap hanya suara kami,
dan kini kami tua—miskin, kecewa.
Maafkan kami, generasi berikutnya.
Kami yang dulu begitu bangga melempar batu,
kini menunduk malu di hadapan bangunan busuk hasil reformasi palsu.
Yang kami beri ruang demokrasi,
ternyata membangun dinasti.
Yang kami beri hak bicara,
ternyata mencipta pasal-pasal penjaga tahta.
Kini negeri ini seperti dijarah setiap hari,
bukan oleh penjajah bersenjata,
tapi oleh bangsa sendiri:
para koruptor, para politisi culas,
yang menjual tambang, sawah, laut dan harga diri.
Kami menyesal,
karena ternyata bukan revolusi yang kami menangkan,
tapi peralihan tangan kekuasaan.
Dari satu tangan ke tangan lain—yang sama kotornya,
hanya beda warna jas dan logo partainya.
Tapi belum terlambat.
Kami akan wariskan kesadaran, bukan kebencian.
Kami akan ajarkan kalian,
bahwa melawan bukan hanya dengan teriakan,
tapi dengan kesabaran dan keberanian mencipta jalan lain.
Agar suatu hari nanti,
kalian tak menulis puisi yang sama:
tentang negeri yang diserahkan,
tentang harapan yang digadaikan.
Tapi tentang bangkitnya bangsa,
yang akhirnya benar-benar merdeka.
21052025
0 Komentar