Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Soal Tambang Ilegal di Bolmong Selatan: Jebakan Berita dan Rp 20 Juta di Swiss-Belhotel



Oleh: Mahar Prastowo

A+ | Suasana Coffee Shop Swiss-Belhotel Maleosan di Manado seperti biasa. Riuh ringan pembicaraan bisnis dan aroma kopi arabika dari dapur menyambut pengunjung. Tapi tak ada yang menyangka, di salah satu sudut ruangannya, berlangsung sebuah pertemuan yang kemudian menjadi polemik di ruang redaksi, institusi, bahkan publik Sulawesi Utara.

Namanya Nasution. Seorang wartawan dari PortalSulut.ID. Ia bukan wartawan senior, tapi sudah kenyang turun ke lapangan. Namanya mulai dikenal di kalangan pegiat lingkungan karena pemberitaannya soal tambang emas ilegal yang memakai alat berat. Beberapa berita terakhirnya menyebut nama RB, dan lokasi tambang di Tobayagan, Pinolosian Timur, Bolaang Mongondow Selatan.

Berita itu ramai. Seperti api menyambar ilalang di musim kemarau. Tapi rupanya, bukan hanya publik yang tergelitik. Ada yang merasa terganggu. Dan di sinilah kisah itu bermula.

Sabtu malam, Nasution bertemu dua orang: satu mengaku intel, satu lagi sesama wartawan. Lokasi berpindah dari Aston ke Swiss-Belhotel. Masih menurut pengakuan Nas, malam itu terjadi pembicaraan soal penghapusan berita. Disebut ada tawaran sebesar Rp 20 juta. Entah itu fee, entah istilah lain, yang pasti itu uang.

Tapi uang itu tak pernah benar-benar sampai. Yang terjadi justru sebaliknya: Nas ditangkap keesokan harinya, Minggu siang. Diringkus oleh anggota Polresta Manado atas dugaan pemerasan, dengan laporan yang dibuat oleh seseorang bernama Frk, yang belakangan diketahui adalah anggota TNI yang berdinas di Kodim 1303/Bolmong.

Frk disebut sempat memperkenalkan diri sebagai anggota Pusat Intelijen TNI AD. Namun, sumber lain juga menyebutkan, ia kerap mengaku sebagai anggota BIN di berbagai kesempatan. Status inilah yang membuat redaksi PortalSulut.ID curiga dan menyebutnya "BIN palsu" dalam keterangan pers mereka.

Di Polresta Manado, Nas diminta membuat surat pernyataan. Ia menyatakan berita tentang tambang Refan tidak benar. Permintaan maaf pun disampaikan secara terbuka kepada RB. Proses ini kemudian memunculkan tanya: apakah ini murni hukum, atau tekanan terhadap kerja jurnalistik?

Di tengah polemik ini, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sulawesi Utara, Edwin Popal, ikut bersuara. Menurutnya, berita Nas bukan hoaks. Tapi investigasinya tidak tuntas.

“Investigasinya terputus di tengah jalan. Harusnya ada data, video, foto, konfirmasi, dan klarifikasi. Jangan buru-buru mengeksekusi berita,” katanya.

Popal menambahkan bahwa pola semacam ini—gertakan pelaku kejahatan dengan melibatkan oknum aparat untuk membungkam pers—bukan hal baru. Ia menyebut tambang, judi, dan mafia BBM sebagai sektor rawan intimidasi terhadap wartawan.

Namun ia juga mengingatkan wartawan agar tidak terjebak dalam permainan berita setengah matang dan dugaan transaksi di balik layar.


Jurnalisme, Tambang, dan Titik Abu-Abu

Ada hal-hal yang tidak terlihat oleh publik. Dalam dunia jurnalisme, godaan terbesar justru bukan tekanan, tapi negosiasi moral di batas samar antara idealisme dan pragmatisme. Wartawan bukan makhluk suci, tapi bukan pula pelaku kriminal otomatis.

Nas belum tentu bersalah. Tapi juga belum tentu bersih. Sama halnya dengan Frk. Bisa jadi ia hanya menjalankan perintah atasan. Bisa pula ia punya kepentingan pribadi. Semuanya masih kabur. Dan dalam dunia kabur itu, publik hanya bisa mengandalkan satu hal: transparansi.

Polresta Manado tentu punya alasan untuk mengamankan Nas. Tapi apakah itu murni laporan, atau intervensi? Apakah benar ada pemerasan, atau hanya jebakan agar berita tak tayang?

RB juga punya hak membela nama baiknya. Tapi benarkah semua berita Nas salah? Jika ya, mengapa tidak ditempuh jalur hak jawab sebagaimana diatur UU Pers?


Akhirnya, Kita Bertanya: Siapa yang Menjebak Siapa?

Kisah ini belum selesai. Mungkin tak akan pernah benar-benar selesai. Tapi yang pasti, wartawan Nas bukan satu-satunya yang terjebak. Kita semua, sebagai publik, terjebak dalam jaring keraguan dan kepentingan.

Di satu sisi ada dugaan tambang ilegal, di sisi lain ada dugaan kriminalisasi wartawan. Di antaranya ada nama-nama yang terusik dan institusi yang terseret.

Dan di tengah semua itu, jurnalisme berdiri di atas abu-abu. Tak sepenuhnya benar. Tak sepenuhnya salah. Tapi tetap penting. Tetap perlu.

Karena tanpa jurnalisme, siapa yang akan menulis cerita seperti ini?

---

Catatan Penulis:
Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi pihak mana pun. Semua pihak berhak atas asas praduga tak bersalah. Nama disebut dengan inisial meskipun sudah tersebar dari sumber terbuka dan pengakuan masing-masing pihak. Namun demikian Jika ada klarifikasi dari pihak yang disebut, dengan terbuka akan memuatnya secara proporsional.

Soal Tambang Ilegal di Bolmong Selatan: Jebakan Berita dan Rp 20 Juta di Swiss-Bellhotel





Posting Komentar

0 Komentar