Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Petualangan Ramah Lingkungan di Surga Beton Marina Bay


 

Oleh: Mahar Prastowo

A+ | Saya pikir itu hanya brosur. Atau mungkin press release biasa yang sering dikirim ke redaksi lewat surel massal. Tapi entah kenapa, yang satu ini berbeda. Kata-katanya sederhana, tapi membawa imajinasi saya melayang. Seolah saya benar-benar ada di sana. Di Marina Bay Sands. Di jantung Singapura yang berkilau itu. Di antara museum futuristik, instalasi seni buatan anak-anak, dan aroma tanaman hijau yang tumbuh dari beton mahal.

Marina Bay Sands. Dulu hanya dikenal sebagai ikon kemewahan Singapura—hotel berbentuk kapal di langit, kasino bertabur cahaya, mal kelas atas. Tapi kali ini, suasana berubah. Resor terpadu itu kini menawarkan sesuatu yang berbeda: sebuah perjalanan ramah lingkungan yang diam-diam tapi menyengat kesadaran.

Saya datang di awal Juni. Saat langit Singapura tidak terlalu panas dan tidak terlalu murung. Di bawah bayang-bayang bangunan raksasa itu, ada gerakan kecil tapi berarti: Sustainable Futures. Itu nama kampanye yang mereka usung—seolah ingin bilang bahwa masa depan bisa dibuat ramah lingkungan, bahkan dari tempat semewah ini.

Petualangan dimulai di ArtScience Museum. Museum itu, seperti bunga teratai yang terbuat dari baja dan kaca, sedang menggelar pameran perdana seniman Korea Selatan Do Ho Suh di Asia Tenggara. Tapi bukan karyanya yang memukau saya—melainkan siapa yang ikut membuatnya. Anak-anak. Ya, instalasi itu dibuat oleh dan untuk anak-anak. Dalam dunia yang serba dewasa, mereka diberi panggung. Anak-anak menciptakan dunia imajinatifnya sendiri tentang alam. Dan kita, orang dewasa, diajak menonton—dan merenung.

Tapi bukan itu saja. Ada lokakarya. Film. Kegiatan melukis biodiversitas secara digital. Ada menu vegan di restoran yang biasanya menyajikan daging wagyu. Bahkan diskon dan penawaran khusus yang ramah lingkungan. Sebuah pengalaman total—tidak hanya di museum, tapi di seluruh kompleks Marina Bay Sands.

“Go Green SG sudah kami dukung sejak hari pertama,” kata Meridith Beaujean, Direktur Eksekutif Keberlanjutan Marina Bay Sands. Ucapannya seperti basa-basi korporat. Tapi saya lihat mereka benar-benar serius kali ini. Mereka bicara soal limbah makanan, sirkularitas, hingga pengurangan jejak karbon.

Saya berjalan ke Digital Light Canvas. Tempat itu biasanya jadi spot swafoto. Tapi sekarang berubah jadi semacam laboratorium seni dan keanekaragaman hayati. Anak-anak menggambar hewan, dan hewan itu langsung muncul di lantai digital raksasa, hidup dan berjalan. Lucu, tapi menyimpan pesan besar: alam bukan sekadar gambar, tapi makhluk hidup yang bisa punah bila tak dijaga.

Lalu saya duduk di ruangan gelap, menonton film dari Sustainable Futures Film Festival. Film itu tidak mewah. Tapi membekas. Tentang nelayan yang tak bisa lagi melaut karena lautnya panas. Tentang perempuan yang menjaga hutan, bukan dengan senjata, tapi dengan nyanyian.

ArtScience Museum seolah menjelma menjadi jembatan: dari kemewahan menuju kesadaran. Dari marmer ke lumpur. Dari pendingin ruangan ke angin alami. “Kami berharap pengunjung dapat memahami peran mereka sebagai penjaga lingkungan,” kata Honor Harger, Wakil Presiden ArtScience Museum.

Saya percaya, perubahan bisa dimulai dari tempat yang tak kita duga—bahkan dari tempat semahal Marina Bay Sands. Karena ternyata, pohon pun bisa tumbuh di tengah beton. Asal ada niat. Dan tentu, tindakan.

Lalu...

Sebuah raungan knalpot sepeda motor melintas di depan kantor. Saya terbangun dari tertidur di depan layar komputer. Ternyata saya bermimpi. Tapi suasananya nyata—terlalu nyata. Seperti dalam press release yang saya kira brosur itu.

Informasi lebih lanjut tentang musim Sustainable Futures di ArtScience Museum dapat ditemukan di:
SINI

Galeri:





Posting Komentar

0 Komentar