Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Stimulus Ekonomi: Mendorong Daya Beli, Merawat Optimisme

 


Oleh: Mahar Prastowo

Stimulus ekonomi kembali digelontorkan pemerintah. Di tengah tekanan harga bahan pokok, stagnasi daya beli, dan sinyal perlambatan konsumsi, pemerintah mengumumkan lima bentuk stimulus ekonomi sepanjang Juni--Juli 2025. Ini adalah paket stimulus ketiga tahun ini---pertanda bahwa pemerintah tak tinggal diam.

Diskon transportasi publik, potongan tarif tol, tambahan bantuan sosial (bansos), bantuan subsidi upah, dan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja adalah isi pokoknya. Targetnya jelas: menggenjot daya beli masyarakat lapisan bawah dan menengah yang kini cenderung menahan konsumsi. Sayangnya, satu rencana stimulus---diskon listrik bagi 79,3 juta rumah tangga dengan daya 1.300 VA ke bawah---dibatalkan, menimbulkan tanda tanya sebagian warga.

Namun mari kita jernihkan. Stimulus bukanlah obat mujarab yang menuntaskan seluruh beban ekonomi. Ia adalah injeksi sesaat, yang dirancang untuk memberikan ruang bernapas, memicu efek ganda (multiplier effect), dan menjaga ekspektasi positif rumah tangga. Layaknya infus di UGD: bukan penyembuh utama, tapi penting untuk stabilisasi.


Anatomi Stimulus: Siapa Terbantu, Seberapa Lama?


Mari kita uji: apakah diskon transportasi publik dan tarif tol memberi pengaruh langsung? Bagi masyarakat perkotaan---khususnya kelas pekerja yang menggantungkan hidup pada Transjakarta, MRT, KRL, dan tol antar-kota---diskon ini memberi nafas. Ongkos bulanan transportasi bisa ditekan 10--15 persen. Angka ini kecil di atas kertas, tapi signifikan dalam realitas mereka yang menghitung sisa uang untuk beras di akhir pekan.

Bantuan subsidi upah (BSU) menyasar pekerja formal berpenghasilan di bawah Rp3,5 juta per bulan. Ini menyasar lapisan menengah bawah formal, yang tak terjamah bansos konvensional. Diberikan Rp600.000--Rp1 juta per pekerja, BSU adalah bentuk apresiasi terhadap daya tahan para pekerja yang tetap produktif di tengah tekanan inflasi.

Tambahan bansos sembako tentu jadi andalan---apalagi di daerah-daerah dengan ketergantungan tinggi pada pendapatan informal. Di sinilah stimulus menyentuh nadi dapur rumah tangga. Uang memang bisa dibelanjakan sesuka hati, tapi sembako langsung menyasar konsumsi dasar.

Namun, kritik patut dicatat. Mengapa stimulus listrik dibatalkan? Padahal, tarif listrik adalah salah satu beban tetap rumah tangga yang sulit dihindari. Di sinilah ruang evaluasi harus terbuka. Apakah kebijakan ini terhalang fiskal, atau ada asumsi rumah tangga mampu bertahan tanpa tambahan subsidi listrik?


Bukan Sekadar Uang, Tapi Rasa Aman

Kebijakan fiskal bukan semata kalkulasi anggaran, tetapi juga manajemen psikologis kolektif. Pemerintah, melalui stimulus, mencoba menjaga harapan. Bahwa negara hadir. Bahwa dalam situasi berat, ada tangan yang membantu menopang. Inilah yang disebut confidence boosting measure---upaya membangun rasa percaya bahwa perekonomian tak sedang terjun bebas.

Di sinilah pemerintah tampak berusaha menyeimbangkan antara "langsung terasa" dan "fiskal tetap sehat." Tidak semua bantuan bisa dalam bentuk tunai. Ada yang lebih tepat berbentuk potongan biaya hidup. Dan jangan dilupakan, jika semua diberikan dalam bentuk uang tunai, ada risiko inflasi konsumsi yang bisa jadi bumerang.


Lalu, Cukupkah Stimulus Ini?

Tentu, tidak semua akan merasakan dampak yang sama. Bagi keluarga dengan penghasilan di bawah Rp2 juta, semua bentuk bantuan tetap terasa kurang. Di sinilah pemerintah harus menjawab tantangan lebih besar: transformasi ekonomi.

Penciptaan lapangan kerja tetap harus menjadi prioritas. Subsidi upah, bansos, dan potongan ini hanyalah "jembatan darurat." Jalan panjangnya tetap pembangunan industri padat karya, digitalisasi UMKM, dan perlindungan pekerja informal.

Karena sesungguhnya, rumah tangga tidak ingin bergantung pada bansos selamanya. Mereka ingin upah yang cukup, pekerjaan yang stabil, dan harga kebutuhan pokok yang wajar. Inilah esensi dari ekonomi berkeadilan yang berkelanjutan.


Epilog: Pemerintah Hadir, Tapi Kita Juga Perlu Suara

Paket stimulus ini bukan jawaban final, tapi langkah responsif yang patut diapresiasi. Tugas kita sebagai warga adalah memberi umpan balik. Menyuarakan kebutuhan riil di lapangan. Apakah sembako lebih efektif dari diskon tol? Apakah BSU menjangkau semua pekerja lepas dan informal?

Di sinilah ruang publik menjadi penting. Sebagai ruang diskusi, sebagai jendela bagi pemerintah melihat realitas. Karena kebijakan yang baik lahir dari dialog, bukan sekadar angka.

Dan untuk itu, kita semua---penerima manfaat, pelaku usaha, aparatur negara---punya satu pekerjaan rumah bersama: membangun negeri ini dari bawah, dengan empati dan bukti nyata.




_______________________________________
Mahar Prastowo
Warga biasa pemerhati kebijakan publik dan jurnalisme ekonomi

Posting Komentar

0 Komentar