![]() |
Ustaz Yahya Waloni (kolase Kalteng Pos) |
Dia tak lagi berteriak dengan berapi-api. Yang tertinggal hanyalah mikrofon kosong dan bangku kayu lapuk di sudut masjid—masjid kecil yang dulu selalu penuh jika ia datang.
---
Hari Jumat, 6 Juni 2025, cuaca di kawasan Minasa Upa, Kota Makassar, cerah berawan dengan suhu sekitar 30°C dan kelembapan sekitar 70%. Angin bertiup dari arah barat dengan kecepatan sekitar 3,3 m/s. Secara umum, kondisi cuaca ini hanya untuk menggambarkan suasana saja. Meski di masa lalu, penggambaran detail cuaca itu menjadi penting bagi saya, saat berlatih menjadi penembak runduk.
---
Cuaca cerah berawan, tapi tampak basah di mana-mana, pada kelopak banyak mata seperti biasanya jika ada tokoh besar yang wafat. Warga di segenap pelosok Indonesia tahu, termasuk di pelosok-pelosok YouTube tahu: Ustaz Yahya Waloni telah tiada.
Tak ada sirine. Tak ada karangan bunga dari istana. Tak ada juga headline besar di koran nasional. Tapi kolom komentar di berbagai platform digital membeludak. Tanda ia memang tokoh. Dicintai, dibenci, dan seperti semua tokoh keras lainnya: tak bisa diabaikan.
Lelaki kelahiran Minahasa ini bukan siapa-siapa sebelum ia menjadi siapa-siapa.
Dulu ia pendeta. Itu yang dia sendiri sering ulang-ulang di mimbar. Bangga. Lalu bertaubat. Lalu menjadi ustaz. Lalu menjadi fenomena.
Bicaranya tajam. Tak berputar. Ia tak berlagak ilmuwan agama, tapi selalu penuh keyakinan. Ia tidak menyerang dengan kitab—ia menyerang dengan pengalaman. Orang bisa menyukai atau membencinya, tapi ia adalah orang yang tahu apa yang dia mau: didengar.
Ia tidak ingin menjadi ulama. Ia ingin menjadi suara. Dan ia berhasil.
Tapi suara itu kini diam. Bisu oleh maut. Bisu oleh usia dan mungkin juga tekanan.
---
"Dia keras karena dunia terlalu lembek," ujar seorang jamaahnya di Bekasi.
Saya bertanya padanya: apa yang paling diingat dari ustaz Waloni?
Ia menjawab, “Keberaniannya. Dia nggak takut. Bahkan saat semua bilang jangan, dia tetap bicara. Bahkan kalau itu bikin dia ditangkap.”
Ya, Ustaz Yahya Waloni memang pernah ditangkap. Bukan karena ia mencuri, tapi karena ia terlalu lantang. Tentang hal yang katanya sensitif. Tentang hal yang mestinya dibicarakan dengan bijak, bukan dengan megafon.
Tapi ia tak kemudian berubah menjadi lembek. Ia tetap istiqomah dengan sikapnya. Ia bukan penyesal. Ia tetap Yahya Waloni sampai akhir.
---
Tahun-tahun terakhirnya sunyi. Dunia digital yang dulu mengangkatnya, perlahan meminggirkannya. Algoritma lebih suka yang muda, yang lucu, yang tak terlalu serius bicara akidah, surga-neraka.
Ia tetap berceramah. Tapi jemaahnya berkurang. Bahkan yang dulu sering mengundang, mulai segan. Mungkin takut dilabeli. Atau memang jemu.
Saya lupa kapan terakhir hadir di majelisnya. Saya juga tak tahu pasti kapan ia sadar bahwa dunia mulai mengecil. Tapi ia tetap datang ke pengajian, tetap membuka kitab, tetap berbicara. Sampai tubuhnya tak lagi kuat.
---
Dan ketika ajal datang, saat ia khutbah jum'at, ia pergi seperti rakyat biasa. Tanpa televisi. Tanpa status negara. Hanya selembar kain kafan dan doa-doa lirih dari mereka yang tetap mencintainya.
---
Setelah kematiannya, orang mulai mengenang. Yang benci pun menoleh. Yang cinta pun menangis. Dan seperti semua tokoh nyentrik dalam sejarah Indonesia—ia akan dikenang lebih karena kontroversinya.
Dan itu sah-sah saja.
Karena Yahya Waloni bukan nabi. Ia seorang manusia yang menghabiskan hidupnya dengan satu keyakinan: bahwa suara, betapapun nyaring, tetap harus disampaikan.
---
Kini, suara itu diam. Tapi gemanya masih ada. Di rekaman. Di hati. Dan di cerita-cerita kita tentang orang yang dulu bicara terlalu keras di negeri yang tak suka dikritik terlalu keras.
Selamat jalan, Ustaz Yahya Waloni.
Mimbarmu kini sunyi, tapi sejarah takkan diam.
---
Catatan: Feature ini ditulis untuk mengenang tokoh agama kontroversial yang telah wafat. Bukan untuk menghakimi, bukan untuk mengagungkan. Hanya untuk mencatat: bahwa ia pernah ada, pernah bersuara, dan pernah mengguncang panggung kecil kita yang bernama Indonesia.
---
0 Komentar