Oleh: Mahar Prastowo
Ada yang hilang di Konawe. Bukan sekadar hutan, bukan cuma tanah yang lenyap ditimbun tailing. Tapi juga harapan: bahwa energi hijau akan menyelamatkan bumi. Bahwa mobil listrik akan membawa kita pada dunia yang lebih bersih.
Nyatanya, tambang nikel justru sedang mengikis janji itu.
Kita sedang menyaksikan ironi besar: demi menyelamatkan planet dari emisi karbon, kita merusak bumi lebih cepat lewat tambang nikel. Indonesia menjadi pemasok utama nikel dunia---lebih dari 50% pasokan global datang dari sini. Tapi dengan harga: lubang-lubang tambang di Morowali, hilangnya tutupan hutan di Halmahera, dan pencemaran laut di Obi.
Mobil Listrik Tak Harus Pakai Nikel
Ini fakta ilmiah yang kini jadi kenyataan industri: mobil listrik bisa berjalan tanpa nikel. Tesla, misalnya, sudah menggunakan baterai LFP (Lithium Iron Phosphate) untuk Model 3 versi standarnya yang dijual di China dan sebagian Eropa. Baterai ini tidak mengandung nikel atau kobalt, dua logam yang selama ini jadi tulang punggung mobil listrik kelas atas.
Teknologi baterai LFP memang lebih tua, tapi kini kembali naik daun. Alasannya: murah, aman, dan tahan lama. Kekurangannya hanya satu: jangkauan. Tapi siapa yang peduli jika kita hanya ingin bepergian 100--200 km per hari di dalam kota?
BYD, Wuling, dan belasan merek China lainnya sudah lama membuktikannya. Bahkan CATL---pabrik baterai terbesar dunia---telah mengembangkan sodium-ion battery, teknologi baru yang juga tanpa nikel. Lebih murah lagi, dan bisa diproduksi dari sumber daya alam non-logam.
Kerusakan yang Tak Terdata dengan Jujur
KLHK mencatat, hingga 2024 ada lebih dari 300.000 hektare lahan tambang nikel di Indonesia. Sayangnya, data reklamasi dan pemulihan lingkungan masih simpang siur. Bahkan, hanya sekitar 30% izin tambang yang memiliki dokumen AMDAL lengkap (sumber: ICEL, 2023). Sisanya? Kita tidak benar-benar tahu berapa banyak sungai yang tercemar, berapa besar sedimentasi yang membunuh terumbu karang, atau berapa desa adat yang tergusur.
Biaya ekologisnya tidak kecil. Menurut perhitungan WALHI, kerugian ekologis akibat kerusakan lingkungan di kawasan tambang nikel di Sulawesi dan Maluku diperkirakan mencapai Rp15 triliun per tahun. Itu belum termasuk dampak kesehatan dan hilangnya mata pencaharian warga pesisir.
Lalu siapa yang membayar?
Energi Hijau, Tapi Hutan Hilang
Kalimat ini mungkin terdengar satiris, tapi begitulah wajah transisi energi kita hari ini: hijau di permukaan, abu-abu di belakang layar.
Investasi smelter nikel tumbuh cepat. Tapi investasi pada riset baterai non-nikel nyaris tak terdengar. Padahal ini bisa jadi jalan keluar. Di luar negeri, perusahaan seperti Northvolt (Swedia) dan Farasis (Jerman) berlomba menciptakan baterai berbasis natrium, tanpa nikel, tanpa kobalt, dan lebih berkelanjutan.
Sementara di sini? Kita malah berlomba membuka konsesi tambang baru. Bahkan kini merambah pulau kecil dan kawasan konservasi.
Solusi: Transisi Teknologi, Bukan Cuma Tambang
Apa yang bisa dilakukan? Setidaknya ada empat:
1. Alihkan fokus ke baterai LFP dan Sodium-ion untuk kendaraan dalam kota, logistik, dan sepeda motor listrik. Ini realistis dan teknologinya sudah siap pakai.
2. Dorong riset dalam negeri soal teknologi baterai tanpa nikel. Universitas dan lembaga riset harus diberi insentif untuk masuk ke lomba inovasi energi masa depan, bukan hanya ikut menambang.
3. Moratorium tambang di pulau kecil dan kawasan hutan tropis. Nikel bukan satu-satunya jalan menuju masa depan. Tapi hutan tropis---sekali hilang---tidak bisa kembali.
4. Hitung nilai ekonomi dari ekosistem yang rusak. Negara perlu mengadopsi pendekatan "ekonomi ekologi" seperti yang dilakukan Selandia Baru dan Kosta Rika---nilai air bersih, udara, dan tanah dihitung dalam kebijakan fiskal.
---
Indonesia bisa tetap jadi pemain utama mobil listrik dunia, tanpa harus menambang sampai ke akar bumi. Kita hanya butuh menggeser fokus: dari menggali tanah, ke menggali otak (jika ada), dan teknologi.
Karena pada akhirnya, mobil listrik bukan soal kecepatan, tapi arah. Kita mau ke mana?
---
Catatan:
Tulisan ini didasarkan pada data publikasi ICEL (2023), WALHI, data CATL dan Tesla, serta laporan riset BloombergNEF dan International Energy Agency (IEA) tentang baterai non-nikel.
(MP)
0 Komentar