Oleh: Mahar Prastowo
Dalam dunia perbankan, tidak ada istilah kebetulan. Ketika PT Bank DKI membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB) bersama PT Bank Maluku Malut, dan pada saat yang sama Gubernur Jakarta Pramono Anung menargetkan Bank DKI untuk IPO dalam waktu satu tahun, kita sepatutnya bertanya: apa yang sebenarnya sedang dirancang?
Langkah ini terlihat sederhana. Dua bank daerah menjalin kerja sama, dengan landasan POJK No. 12/POJK.03/2020 tentang konsolidasi perbankan. Bahasa yang digunakan sangat normatif: memperkuat permodalan, sinergi bisnis, penguatan ekonomi daerah. Tapi kalau hanya itu tujuannya, kenapa harus terburu-buru menuju IPO?
Pramono menyatakan dengan yakin, bahwa IPO akan meningkatkan transparansi karena pengawasnya adalah publik. Ya, secara teori. Tapi publik macam apa yang akan mampu membaca laporan keuangan bank dengan neraca ribuan halaman, dan laporan audit yang dibaca oleh segelintir analis profesional?
Pertanyaan kuncinya adalah: mengapa sekarang? Mengapa Bank Maluku Malut? Dan mengapa KUB ini terasa begitu strategis, padahal belum pernah ada sejarah sinergi bisnis riil sebelumnya antar kedua bank?
---
Positif: Sinergi, Skala, dan Strategi
Dari sisi optimisme, ada beberapa hal yang bisa kita apresiasi.
Pertama, Bank DKI tengah berupaya naik kelas, dari sekadar BUMD DKI menjadi bank publik dengan jangkauan nasional. Dengan IPO, Bank DKI bisa meningkatkan modal, memperluas pasar, dan membiayai proyek-proyek besar yang sebelumnya tidak terjangkau oleh kas daerah. Ini transformasi yang secara ide patut diapresiasi.
Kedua, kerja sama dengan Bank Maluku Malut membuka peluang pembiayaan lintas daerah, memperkuat literasi keuangan, dan meningkatkan penetrasi bank di wilayah timur Indonesia yang selama ini kurang mendapat akses perbankan yang memadai.
Ketiga, sinergi ini dapat memperkuat posisi Bank DKI dalam persaingan antarbank daerah yang makin ketat. Sebagai ilustrasi: Bank Jateng dan Bank Jatim juga tengah bersiap IPO. Siapa cepat, dia dapat.
---
Negatif: Risiko Fiskal dan Asimetris Informasi
Namun dari sisi kehati-hatian, ada sejumlah catatan kritis.
Pertama, IPO bukan hanya tentang penambahan modal, tapi juga tentang risiko kehilangan kontrol. Ketika publik memegang saham mayoritas, maka visi jangka panjang bisa berbenturan dengan tuntutan laba jangka pendek dari investor. Ini bisa menjadi ironi bagi bank daerah yang seharusnya mengutamakan pembangunan sosial.
Kedua, sinergi dengan Bank Maluku Malut -- yang dari sisi aset jauh lebih kecil -- bisa berbalik menjadi beban ketimbang penguatan. Apakah Bank DKI siap menjadi 'penopang' utama proyek-proyek pembangunan di kawasan timur yang padat tantangan logistik dan infrastruktur?
---
Apakah KUB Ini Terkait Proyek Raksasa di Maluku Utara?
Di luar pernyataan resmi tentang sinergi ekonomi daerah, ada satu pertanyaan besar yang perlu dijawab: apakah pembentukan KUB ini berkaitan dengan rencana pembiayaan proyek-proyek strategis di Maluku Utara, khususnya di Kabupaten Pulau Taliabu?
Gubernur Maluku Utara, dalam pelantikan Bupati Taliabu Sashabila Mus, menyebut kebutuhan investasi sebesar Rp8 triliun untuk membangun jalan, jembatan, sekolah rakyat, hingga dua kawasan industri. Ini angka yang sangat besar, dan hampir pasti tidak bisa ditanggung hanya oleh APBD setempat.
Apakah Bank DKI dan Bank Maluku Malut sedang dipersiapkan menjadi kendaraan pembiayaan dari proyek-proyek ini? Bila ya, maka IPO bukan hanya strategi permodalan, tapi langkah awal menuju pembiayaan proyek-proyek besar lintas pulau yang berisiko tinggi.
Tapi bila tidak, mengapa kerja sama ini dilakukan dalam waktu yang begitu berdekatan dengan pernyataan kebutuhan pembiayaan raksasa itu?
---
Kesimpulan Kritis: Waspada dalam Optimisme
Kita semua belajar bahwa niat baik tidak cukup. Perlu ada kalkulasi yang jujur. IPO dan pembentukan KUB seharusnya menjadi bagian dari peta jalan yang disampaikan secara transparan kepada publik -- termasuk, jika benar, adanya keterkaitan dengan pembiayaan proyek-proyek besar di wilayah timur Indonesia.
Bank DKI adalah milik rakyat Jakarta. Bank Maluku Malut adalah milik rakyat Maluku dan Maluku Utara. Jangan sampai langkah besar ini menjadi proyek pencitraan elite daerah semata, sementara beban akhirnya ditanggung generasi mendatang.
---
Pembangunan perlu keberanian. Tapi keberanian tanpa kehati-hatian adalah kesombongan. Dan kesombongan, dalam dunia keuangan, bisa sangat mahal.
0 Komentar