![]() |
foto: tabloidlugas.com |
Balai pertemuan Desa Bapenu sore itu tidak tampak mewah. Hanya bangunan sederhana di tengah desa kecil di Taliabu Selatan. Namun, Sabtu (23/8/2025) itu, ruangan sederhana itu menjadi saksi perputaran uang negara.
Uang gaji. Untuk Kaur. Untuk BPD. Untuk pengurus masjid. Semua menerima hak mereka. Bukan sesuatu yang luar biasa di kota. Tapi di desa, pencairan gaji bisa jadi sebuah perayaan kecil.
Kepala Desa Bapenu, Zunaidy, berdiri di depan warganya. Bukan untuk berpidato panjang. Hanya memastikan: “Alhamdulillah, penyaluran ini bisa terlaksana. Semoga lancar sampai triwulan keempat.”
Sederhana. Tetapi penuh arti.
Bagi aparat desa di pelosok, gaji bukan hanya soal angka. Itu adalah tanda bahwa negara hadir. Bahwa kerja mereka—yang sering dianggap remeh—diakui. Bahwa mengurus warga, menghadiri rapat dusun, bahkan menjaga masjid, bukanlah kerja sukarela yang terlupakan.
Zunaidy menyebutnya sebagai bentuk penghargaan. Pemerintah daerah mencairkan. Desa menyalurkan. Aparat menerima. Rantai birokrasi yang panjang akhirnya tiba di Bapenu.
Saya membayangkan wajah seorang Kaur yang menerima amplop itu. Barangkali tidak tebal. Tapi cukup untuk membeli beras sebulan. Atau membayar seragam sekolah anaknya.
Di kota, berita seperti ini tidak akan masuk headline. Bahkan mungkin tidak menarik. Tapi bagi Bapenu, ini adalah sejarah kecil. Uang triwulan II Tahun Anggaran 2025 akhirnya sampai.
Pertanyaannya: mengapa baru April–Juni yang cair? Mengapa tidak langsung setahun penuh? Di situlah wajah birokrasi kita. Uang desa memang besar, tetapi alirannya lambat. Kadang tersangkut aturan, kadang tersendat laporan.
Namun Zunaidy tidak mengeluh. Ia justru bersyukur. Baginya, ucapan terima kasih kepada pemerintah daerah adalah wajib. Karena di desa, menjaga harmoni lebih penting daripada protes.
Saya teringat kalimat lama: “Negara hadir sampai ke pelosok.” Di Bapenu, itu hadir dalam bentuk amplop gaji. Tidak besar. Tidak cukup mengangkat desa ini langsung makmur. Tapi cukup membuat aparat desa tetap bekerja.
Dan bekerja di desa bukan pekerjaan ringan. Mereka mengurus warga yang lahannya berselisih, mengurus bantuan sosial yang sering tidak merata, mengurus masjid yang listriknya kadang mati karena telat bayar. Semua itu butuh tenaga, butuh waktu, dan butuh pengakuan.
Maka, penyaluran gaji di balai pertemuan itu bukan sekadar transaksi. Itu adalah tanda: roda kecil pemerintahan tetap berputar.
Kalau di Jakarta, berita besar adalah reshuffle kabinet. Kalau di Bapenu, berita besarnya: gaji aparat desa cair.
#jurnalismepembangunan #maharprastowo
0 Komentar