Essay Mahar Prastowo
A+
Kalau ada yang bilang sekolah tidak bisa mengubah nasib, mungkin ia belum pernah mendengar tentang Sekolah Rakyat.
Program ini baru saja diluncurkan Kementerian Sosial. Tapi sejak awal ia sudah membawa misi besar: memutus rantai kemiskinan antar-generasi.
Dan yang lebih menarik, Jasa Raharja—perusahaan yang kita kenal karena santunannya pada korban kecelakaan—justru memilih terlibat di dalamnya.
Sekolah ini bukan sekolah biasa. Bukan sekadar ruang kelas dengan papan tulis dan bangku kayu.
Ia adalah sekolah berasrama, dengan kombinasi pendidikan formal, pembinaan karakter, dan keterampilan hidup.
Anak-anak yang masuk ke sini bukan sembarang anak. Mereka datang dari keluarga termiskin di negeri ini. Desil 1–2, istilah resminya dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional.
Untuk bisa masuk pun harus melewati seleksi yang panjang: administrasi, tes akademik, psikotes, kunjungan rumah, wawancara orang tua, hingga pemeriksaan kesehatan.
Total ada 159 sekolah. Menampung 15.370 siswa. Dibimbing 2.407 guru. Didukung 4.442 tenaga kependidikan.
Sebuah orkestrasi besar.
Lalu, apa urusannya dengan Jasa Raharja?
Inilah yang unik. Perusahaan pelat merah ini ingin menanamkan pendidikan keselamatan jalan sejak dini melalui Sekolah Rakyat.
Bagi Jasa Raharja, yang sehari-hari berhadapan dengan korban kecelakaan, langkah ini terasa sangat logis: lebih baik mencegah daripada menanggung akibat.
“Lewat dukungan terhadap Sekolah Rakyat, kami ingin memastikan anak-anak tumbuh sebagai pelopor keselamatan. Mulai dari helm SNI, sabuk pengaman, etika pejalan kaki dan pesepeda, sampai cara menolong korban kecelakaan,” kata Dewi Aryani Suzana, Plt. Direktur Utama Jasa Raharja.
Angka-angka memang menakutkan.
Sepanjang 2024, terjadi 227.435 kecelakaan lalu lintas. Dari jumlah itu, 56.526 melibatkan anak-anak.
Itu berarti, hampir setiap jam ada anak-anak Indonesia yang celaka di jalan raya.
Karena itulah Jasa Raharja melihat Sekolah Rakyat sebagai ruang intervensi strategis. Bukan lagi seminar, bukan lagi brosur, bukan lagi spanduk imbauan. Tapi masuk ke sistem pendidikan formal.
Sejalan dengan langkah Korlantas Polri yang kini memasukkan materi keselamatan jalan ke dalam pelajaran PPKn, dari SD hingga SMA.
Saya melihat ini bukan sekadar program pendidikan. Ia adalah eksperimen sosial.
Bayangkan, anak-anak yang tadinya rawan putus sekolah, kini tinggal di asrama, belajar karakter, mengasah keterampilan hidup, sekaligus ditempa disiplin berlalu lintas.
Kalau program ini konsisten, dalam 10–15 tahun kita akan menyaksikan generasi baru Indonesia: cerdas, berkarakter, disiplin, dan sadar keselamatan.
Sebuah generasi yang lebih aman di jalan.
Sekolah Rakyat bukan hanya milik Kemensos. Ia kini menjadi ladang sinergi: Jasa Raharja dengan edukasi keselamatannya, Korlantas dengan regulasinya, dan guru dengan keteladanannya.
Dan di balik itu semua, ada satu kesadaran yang terus diulang Dewi Aryani:
“Keselamatan adalah ekosistem. Anak-anak paham tata tertib, guru memberi teladan, orang tua mendukung. Barulah angka kecelakaan bisa ditekan.”
Jasa Raharja sedang menempuh jalan sunyi.
Ia tidak lagi sekadar menunggu laporan kecelakaan. Ia turun ke sekolah-sekolah. Menyapa anak-anak. Mengajari cara menyeberang jalan.
Karena di sanalah masa depan diselamatkan.
________________________
Tentang Penulis, klik di SINI
0 Komentar