A+
Kita selalu punya bendera yang kita cintai.
Di laut fiksi, bendera itu hitam, bergambar tengkorak dengan topi jerami — sederhana, robek oleh badai dan peluru, tapi justru di situlah letak keindahannya: ia menolak tunduk.
Di darat yang nyata, bendera kita Merah Putih. Dua warna yang dijahit di malam panjang penjajahan, lalu dikibarkan pertama kali di Pegangsaan Timur, Agustus 1945.
Dalam sebuah pernyataan resmi, Jumat (1/8/2025), Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, mengingatkan lagi makna bendera itu.
“Bendera Merah Putih yang kita kibarkan sekarang adalah hasil perjuangan kolektif pendahulu kita,” katanya. Sebuah kalimat yang sederhana, tetapi di dalamnya terkandung darah, air mata, dan harapan puluhan juta orang yang pernah hidup dalam ketakutan.
Menko Polkam juga menegaskan, ada konsekuensi hukum bagi siapa pun yang menistakan simbol negara.
Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009: dilarang mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang apa pun.
“Pemerintah akan mengambil tindakan hukum secara tegas dan terukur terhadap unsur kesengajaan dan provokasi,” ujarnya.
Di antara dua bendera itu — bendera fiksi bajak laut Topi Jerami, dan Sang Saka Merah Putih — ada jarak yang seolah tak terjembatani.
Yang satu lahir dari khayalan tentang kebebasan mutlak, tentang melawan tatanan dunia yang korup.
Yang satu lahir dari sejarah: kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah.
Tapi ada titik di mana keduanya bersinggungan: keduanya sama-sama lahir dari tekad menolak penindasan.
Bendera Topi Jerami di One Piece bukan hanya lambang “kami bajak laut.”
Ia lambang keluarga yang diciptakan oleh pilihan, bukan darah.
Ia lambang menertawakan penguasa yang arogan — Tenryuubito, bangsawan langit yang menembak siapa saja yang mereka anggap “rendahan.”
Ia lambang mimpi yang lebih besar dari rasa takut.
Monkey D. Luffy dan kawan-kawannya tidak pernah peduli pada aturan Pemerintah Dunia — justru karena mereka tahu, aturan itulah yang sering melanggengkan ketidakadilan.
Pemerintah Dunia dalam kisah One Piece selalu paling marah ketika melihat bendera itu berkibar.
Bukan takut dirampok, tapi takut kehilangan wibawa.
Karena mengibarkan bendera itu sama dengan menuduh mereka penindas.
Dan di sini, yang menarik adalah cermin: siapa yang merasa tersinggung, seringkali adalah yang sedang bercermin pada dirinya sendiri.
Menko Polkam, dalam pernyataannya, menambahkan:
“Kami menghimbau agar ekspresi tersebut tidak melanggar batas dan mencederai simbol negara.”
Ia menutup ajakan itu dengan kalimat:
“Mari kita jaga agar Sang Saka Merah Putih tetap berkibar selamanya di bumi pertiwi.”
Sebuah kalimat yang diucapkan menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia. Sebuah ajakan untuk tetap bersyukur, menjaga apa yang telah diperjuangkan.
Dan kita, pembaca kisah bajak laut fiksi maupun sejarah panjang kemerdekaan, tahu:
Merah Putih harus selalu dikibarkan paling tinggi.
Tapi di hati yang paling dalam, kita juga tak bisa memungkiri ada simpati untuk bendera hitam robek itu — simbol kecil dari sebuah mimpi:
Hidup tanpa takut, tanpa tunduk, dan tanpa penindasan.
Di sanalah, barangkali, nasionalisme dan kebebasan saling menyapa — bukan saling meniadakan.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Dan selamat berkibar juga, bendera mimpi — meski hanya di sudut hati para pemberontak yang diam.
---
Ditulis karena ada yang takut bendera, setelah 10 tahun kita dibawa takut dengan gambar poster.
Baca juga:
1 Komentar
anjaaiiii
BalasHapus