Jakarta, 31 Agustus 2025, jalanan Senayan menyisakan isak bisu. Trotoar rusak dan aroma gas air mata menyelimuti udara. Di sanalah, di antara bekas amunisi gas air mata, Ahu duduk lemas, dua hari tanpa makan. Tanpa telepon, tanpa kabar. Siapa dia? Anak kampung Cimahi yang nama lengkap dan tanggal lahirnya disembunyikan oleh media demi “perlindungan”.
Ahu lahir dari desa sederhana, tamat sekolah dasar, dan membantu orang tua bertani. Ia tak pernah membayangkan langkahnya berakhir di kerusuhan—namun itu yang terjadi.
Rencana Penjarahan hingga Target Terakhir: Kediaman “Presiden”
Sebelum berpisah dari rombongan, Ahu mendengar rencana: empat rumah pejabat akan dijarah. Terakhir, rumah Presiden Prabowo Subianto — menurut “abang-abangan” yang memimpin. Penjarahan tak pilih-pilih: rumah anggota DPR Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, rumah Eko Patrio di Kuningan, hingga rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro semuanya jadi sasaran.
“Itu Jaket Saya…” — Wajah-wajah yang Tak Lazim
Ketika ditunjukkan video penjarahan, Ahu menunjuk; orang-orang yang naik mobil dan pegang hape adalah wajah dari rombongannya. Ia mengenali jaketnya sendiri, dan baju biru yang dipakai salah satu penjarah.
Tetapi verifikasi independen sulit dilakukan. Yang jelas, warga lokal tampak kebingungan melihat pelaku — banyak yang tak mereka kenali.
“Imbalan” Barang Jarahan dan Aksi Terkoordinasi
Dari kampung ke ibu kota, Ahu datang untuk “protes DPR”—dibujuk oleh seseorang yang disebut “R”. Ia dan teman-teman dibekali molotov, petasan, bahkan kembang api. Rombongan bertambah hingga 600 orang ketika tiba di Bogor, lalu masuk ke Senayan.
Barang jarahan dijanjikan sebagai “imbalan”. Mereka diberi makan tiga kali sehari—cukup untuk bertahan di jalanan Senayan.
Kejadian Secara Keseluruhan
Penjarahan pertama pecah di rumah Eko Patrio di kawasan Kuningan, Sabtu malam. Polisi dan TNI kewalahan menghadapi tiga gelombang massa yang datang silih berganti. Tak lama kemudian, rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro juga jadi sasaran. Pagar dihancurkan, perabotan rumah tangga hingga perhiasan raib. Aparat datang belakangan, ketika massa sudah kabur membawa hasil rampasan. Di Tanjung Priok, rumah Ahmad Sahroni pun bernasib sama. Warga setempat sempat mencoba menghalangi, tetapi gelombang massa keburu merangsek masuk. Satu per satu simbol kekuasaan negara diruntuhkan oleh tangan-tangan yang tak selalu jelas berasal dari mana.
Sekilas Suara Warga
Berbanding terbalik dengan kekacauan, muncul suara lugas warga seperti Salimah (60) asal Kalibata:
“Saya jengkel beneran. Masak kita bayar listrik, beli beras, bayar pajak, dia orang DPR nggak bayar pajak. Saya mau demo sampai tobat itu anggota dewan.”
Lalu seorang ibu setempat di Tanjung Priok mencibir pelaku penjarahan:
Lalu seorang ibu setempat di Tanjung Priok mencibir pelaku penjarahan:
“Mukanya banyak yang nggak kenal.”
Kisah nyata mereka menambah sensasi bahwa kerusuhan ini bukan milik satu kelompok, tapi jutaan rasa marah yang terkumpul meletus dalam bentuk brutalitas.
Penutup: Saat Detik Berjalan Tanpa Jawaban
Ahu terbuang, kehilangan arah, tanpa gadget, berakhir sebagai saksi tanpa pelapor. Sebaliknya, aparat baru bereaksi setelah kerusakan terjadi. Polisi sudah buat laporan Model A untuk menyelidiki—CCTV dan bukti visual segera akan dikejar.
Namun, apakah yang terjadi adalah kemarahan yang sah? Atau kerusuhan yang dimobilisasi? Atau hanya korban kecil dalam permainan besar?
Kisah nyata mereka menambah sensasi bahwa kerusuhan ini bukan milik satu kelompok, tapi jutaan rasa marah yang terkumpul meletus dalam bentuk brutalitas.
Penutup: Saat Detik Berjalan Tanpa Jawaban
Ahu terbuang, kehilangan arah, tanpa gadget, berakhir sebagai saksi tanpa pelapor. Sebaliknya, aparat baru bereaksi setelah kerusakan terjadi. Polisi sudah buat laporan Model A untuk menyelidiki—CCTV dan bukti visual segera akan dikejar.
Namun, apakah yang terjadi adalah kemarahan yang sah? Atau kerusuhan yang dimobilisasi? Atau hanya korban kecil dalam permainan besar?
“Ahu hanya satu di antara mereka yang terjatuh. Kita bisa menuduh, menyalahkan, tapi suara Ahu—suara anak kampung—di antara riuh itu, adalah suara yang lupa kita dengar.”
0 Komentar