
Saya jadi ingat, di era Orde Baru, rapat-rapat keamanan seperti itu sering dilakukan. Bedanya: dulu, pusat koordinasi ada di Cendana. Satu telepon dari sana bisa menghentikan demo. Satu perintah bisa mengirim tank ke jalan.
Sekarang? Rapat panjang dua jam, isinya daftar kekhawatiran. Soal warna pink dan hijau. Soal TikTok. Soal tagar.
Betapa ironisnya.
Di tahun 1974, Malari pecah karena isu asing. Di 1998, mahasiswa turunkan Soeharto dengan poster, spanduk, dan orasi. Tahun 2025? Demo digerakkan dengan gambar estetika pink-hijau yang viral di TikTok.
Negara seakan gagap. Rakyat sudah berpindah ke medan perang baru. Sementara aparat masih memanggil Linmas, Satpol PP, bahkan kentongan.
Di ruang rapat Sadewa itu, ada satu kalimat yang seakan mengikat semua pembicaraan: "Peperangan kognitif."
Kalimat ini bisa jadi kata kunci sejarah. Sama seperti "subversif" di era Orde Baru. Atau "GPK" (Gerakan Pengacau Keamanan) di masa Orde Baru.
Bedanya, dulu negara selalu menang dalam memberi label. Kini, label yang diberikan negara sering kalah cepat dibandingkan dengan meme, hashtag, dan jokes yang beredar di medsos.
Soeharto dulu bisa menyensor koran, membredel majalah, menutup TV. Sekarang? Negara hanya bisa berusaha menjatuhkan TikTok Live. Itu pun viralitas sudah keburu jalan.
Negara seperti orang tua yang baru belajar main HP, sementara anak-anaknya sudah jago bikin konten, pakai VPN, dan bikin akun cadangan.
Di akhir rapat itu, pukul 14.45, semua sepakat: harus ada penggalangan. Harus ada koordinasi. Harus ada antisipasi.
Tapi satu pertanyaan menggantung di udara:
Bisakah negara yang besar ini melawan warna pink-hijau?
0 Komentar