Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta. (foto:ist/retouch by mahar prastowo)


A+ 

Di ruang sidang dunia, suara-suara bergema seperti orkestra yang tak kunjung menemukan harmoni. Di Jakarta, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, menegaskan suara Indonesia: solusi dua negara. Sebuah adagium yang sudah lama diperjuangkan, namun seperti bait dalam tragedi Shakespeare, selalu tertahan di tepi panggung sejarah.

“Deklarasi tanpa implementasi hanyalah simbol,” kata Sukamta. Sebuah kalimat singkat, namun berat, laksana pahatan Michelangelo pada marmer yang keras—menyingkap bentuk yang tersembunyi di dalamnya.

Palestina. Nama itu bukan sekadar titik di peta, tetapi seperti yang dikatakan Al-Farabi: sebuah madinah fadilah, kota utama yang dicita-citakan, di mana keadilan dan kebajikan seharusnya bersemayam. Namun, dalam kenyataan, ia masih terjerat dalam lingkaran kekuasaan yang mengingkari hakikat kemanusiaan.

Kini Hamas, yang selama ini digambarkan sebagai tembok penolakan, tiba-tiba membuka celah. Mereka berkata: dua negara, ya. Tetapi dengan syarat: gencatan senjata permanen, blokade dihentikan, penarikan pasukan Israel dari Gaza. Syarat yang terdengar seperti rancangan arsitektur Leonardo Da Vinci—detail, penuh perhitungan, namun menyimpan mimpi besar tentang ruang hidup yang lebih manusiawi.

Sementara itu, dunia mencatat. Seratus lima puluh sembilan negara kini mengakui Palestina. Seperti fresco di langit-langit Kapel Sistina, pengakuan itu membentuk mosaik global—warna-warni, penuh simbol, tapi belum turun menyentuh tanah.

Presiden Prabowo Subianto menawarkan pasukan Indonesia di bawah mandat PBB. Sederhana, tetapi di baliknya ada gema panjang sejarah Garuda di Kongo, Lebanon, hingga Sudan. Tawaran itu bagaikan tangan Adam yang dijangkau Tuhan di lukisan Michelangelo: sebuah upaya menyentuh, meski masih ada jarak yang belum tersambung.

Namun, tragedi tetap mengintai. Seperti kisah-kisah Dante dalam Divina Commedia, Palestina berjalan dari lingkar neraka peperangan, melintasi purgatorium negosiasi, mencari surga bernama kemerdekaan. Di Gaza, anak-anak masih berlari di antara puing, sementara dunia berdebat tentang resolusi.

Apakah mereka mendengar? Apakah jeritan itu sampai menembus dinding kaca ruang sidang PBB? Ataukah hanya menjadi gema samar, hilang ditelan retorika diplomasi?

Sukamta mengingatkan kembali amanat Pembukaan UUD 1945: penjajahan harus dihapuskan.

Kalimat itu, bila ditulis ulang oleh Shakespeare, akan terdengar sebagai sumpah di hadapan takdir.
Kalimat itu, bila dipahat oleh Michelangelo, akan menjelma patung yang menatap masa depan dengan mata kosong namun penuh harap.
Dan kalimat itu, bila ditafsirkan oleh Al-Farabi, adalah syarat bagi berdirinya peradaban yang benar-benar adil.

Palestina hari ini bukan sekadar isu politik. Ia adalah cermin bagi dunia: apakah kita masih memiliki keberanian untuk menjunjung martabat manusia?

Sukamta menegaskan kembali, terutama di dalam fraksi PKS tempatnya berasal: dukungan penuh bagi rakyat Palestina, hingga berdiri negara yang merdeka, berdaulat, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Sebuah janji yang bergema seperti akhir sebuah drama—namun entah apakah akan menjadi tragedi yang berulang, atau akhirnya berubah menjadi epik kemenangan.

Karena Palestina bukan hanya soal tanah dan batas. Ia adalah puisi yang belum selesai, lukisan yang belum rampung, simfoni yang masih menunggu nada terakhirnya.

[]