A+
Essay Mahar Prastowo
Essay Mahar Prastowo
Senin siang, 8 September 2025. Ruang rapat Sadewa di Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat, penuh dengan wajah-wajah tegang. Bukan karena pendingin ruangan mati, tapi karena negeri ini seperti baru saja melewati badai—dan sebentar lagi bisa datang lagi.
Irjen Pol Desman S Tarigan memimpin rapat itu. Seorang jenderal bintang dua, tapi duduk di kursi Plt Deputi Bidkoor Kamtibmas. Nada suaranya datar: “Kita di sini untuk update perkembangan Kamtibmas, prediksi, dan antisipasi… termasuk demo 17 September.”
Ya, tanggal itu sudah beredar di kepala semua orang di ruangan. Di luar sana, mahasiswa, buruh, LSM, bahkan ojol, sudah mulai ancang-ancang. Di layar ponsel mereka bukan lagi teks panjang manifesto, tapi warna. Pink dan hijau. Dua warna itu tiba-tiba menjadi “bendera” baru.
Di ruangan itu, Dedi Safrudin, seorang perwira intel kepolisian, membuka fakta: rusuh Agustus lalu dimulai dari konten viral berwarna pink-hijau di media sosial. Tidak ada orasi. Tidak ada pamflet. Hanya gambar. Lalu tiba-tiba orang-orang turun ke jalan.
Tanggal 25–30 Agustus menjadi puncak. TikTok Live jam 6 sore ditutup paksa, tapi sudah terlambat. Api sudah telanjur membesar. Bahkan ojek online ikut jadi korban.
“Yang kita hadapi bukan lagi massa fisik di jalanan. Tapi massa maya di udara. Mereka menyalakan api dulu di medsos, baru turun ke lapangan,” ujar Dedi.
Lalu giliran Kemendagri. Lukas Ayomi bicara soal siskamling. Ya, siskamling. Di era TikTok, negara masih percaya pada kentongan pos ronda.
“Satlinmas, RT/RW, harus diperkuat. Fungsi pos ronda harus ditegakkan kembali. Laporan situasi bisa lewat aplikasi SIM Linmas,” katanya.
Betapa kontrasnya. Dunia maya meledakkan kerusuhan, sementara negara mengandalkan aplikasi Linmas—yang di banyak desa bahkan belum dipakai.
Dari pihak TNI, peringatan lebih keras: “Yang kita hadapi ini peperangan kognitif,” ujar perwira intel TNI. Kata itu—peperangan kognitif—seperti istilah baru. Artinya: pertempuran bukan lagi soal peluru, tapi soal pikiran.
Isu yang dilemparkan: TNI provokator. TNI membiarkan. TNI membungkam. Semua narasi sengaja diarahkan untuk memecah belah rakyat dan aparat.
Mabes TNI bahkan menyebut ada laporan yang beredar di Melbourne: 10 orang tewas, 20 hilang.
BNPT juga bicara. Data mereka: ada 2.084 eks narapidana terorisme. Dari angka itu, ratusan masih terhubung dengan paham radikal. Beberapa ikut meniupkan ajakan demo. “Yang berbahaya adalah eks napiter yang bisa bikin bom,” kata perwakilan BNPT.
Sementara Kejaksaan mengeluh. Kantor mereka di Sulawesi Selatan jadi sasaran amuk. “Medsos terlalu cepat membuat isu,” kata M. Fatria dari Jamintel. Solusinya? Jaksa Mengajar. Idenya sederhana: kalau anak-anak sekolah diberi pemahaman hukum, mereka tidak akan gampang ikut demo.
Tony B. S dari Badan Intelijen Kemhan membawa data lebih telanjang: total 30 ribu massa ikut aksi, 9 orang tewas, 7.509 orang diamankan. Dari jumlah itu, 83 sudah jadi tersangka.
“Yang perlu diantisipasi berikutnya adalah International Democracy Day, G30S, satu tahun DPR, dan satu tahun pemerintahan Prabowo,” ujarnya.
Seperti kalender yang penuh tanggal merah, negara mencatat hari-hari rawan demo, bukan hari libur.
Dan rapat itu ditutup dengan kalimat klasik: “Jangan sampai TNI-Polri diadu domba. Jangan lengah pada kepentingan asing. Waspadai media sosial sebagai alat komunikasi massa aksi.”
Pesannya jelas: negara merasa sedang berhadapan dengan sesuatu yang lebih berbahaya dari peluru. Simbol warna. Meme. Hashtag.
Di ruang Sadewa, sore itu, elite keamanan negara mengakui satu hal besar: pertahanan konvensional kalah cepat dari viralitas.
Dan perang berikutnya bukan di jalanan. Tapi di layar.
0 Komentar