Oleh Mahar Prastowo

Saya mengenalnya pertama kali tentu lewat RRI, di zaman ketika radio masih menjadi jendela dunia bagi bocah kampung seperti saya. Kala itu, suara gamelan dari Surakarta mengalun lirih dari pesawat radio di kamar, sementara saya duduk bersila di amben, menanti suara dalang yang menghidupkan bayang-bayang dari balik kelir. Di situlah pertama kali saya mendengar nama Ki Anom Suroto.
Suara beliau bukan sekadar menuturkan lakon. Ia mengembuskan ruh. Setiap sabetan, setiap catur, bagai mantra yang memanggil makna-makna kehidupan.

Bertahun-tahun kemudian, saya benar-benar bersua dengan beliau_bukan lagi lewat gelombang udara, tapi di dunia nyata. Saat itu saya ikut Mas Amin Pujanto, wartawan budaya Suara Merdeka yang juga mentor saya, untuk meliput kegiatan SENAWANGI di Gedung Pewayangan Kautaman, TMII. Di sanalah Ki Anom duduk, mengenakan beskap hitam, dengan senyum teduh yang menandakan kebesaran tanpa perlu tanda seru.

Kami berbincang panjang, antara dunia pedalangan dan dunia pewartaan. Ia berkata pelan tapi mantap,

“Dalang itu, Mas, hanya perantara. Yang sejati itu sabdanya, bukan dirinya.”

Saya tertegun. Dalam kalimat sesederhana itu, seolah ia sedang menyentuh hakikat profesi yang belum lama saya tekuni: wartawan juga dalang. Bedanya, dalang menyampaikan pesan lewat lisan dan bayang-bayang; wartawan lewat tulisan dan kenyataan. Tapi keduanya sama-sama menyalurkan suara dari yang tak tampak menuju yang tampak, dari yang batin menuju yang lahir.


Dalang Adalah Pekerjaan Kenabian

Bagi saya, dalang sejati adalah pewarta kebenaran.
Ia messenger_bukan pencipta cerita, tapi penyampai kisah dari semesta. Ia menggerakkan tokoh-tokoh wayang seperti nabi menggerakkan umat dengan sabda. Ia menafsirkan hidup, menegakkan nilai, menaburkan doa. Maka ketika Ki Anom Suroto mendalang, ia seperti penguasa di antara dua dunia: dunia manusia yang gelap di depan layar, dan dunia dewa yang berkilau di belakangnya.

Sabetannya tegas, tetapi mengandung kasih. Catur-nya keras, namun berlapis welas. Ia tak hanya menampilkan perang antara Pandawa dan Kurawa, tapi juga perang batin antara kebenaran dan kesombongan dalam diri manusia.
Dan itulah sebabnya, setiap kali saya menyaksikan beliau mendalang, saya seperti sedang menyaksikan cermin kehidupan_tempat manusia mencari dirinya sendiri di antara sorot blencong.


Kabar Duka dari Solo

Lalu pagi ini, 23 Oktober 2025, kabar itu datang dari Solo.
Dalang besar Ki Ageng H. Anom Suroto Lebdo Nagoro berpulang di usia 77 tahun. Rumah Sakit Dr. Oen Kandang Sapi menjadi saksi keheningan itu.

Putranya, Ki Jatmiko, menyampaikan bahwa sang ayah telah lama bergulat dengan penyakit jantung. Tapi sebagaimana dalang di akhir lakon, ia tidak pernah mengeluh, hanya menuntaskan sabetannya dengan sempurna.

“Pesan terakhir beliau, kami harus rukun dan melanjutkan perjuangan lewat pakeliran,” ujar Jatmiko lirih.
“Bayu, adik saya, diminta meneruskan karya dan tradisi Bapak.”

Pesan itu seperti wasiat para pendeta di zaman purba. Bahwa hidup harus terus berputar, seperti kelir yang tak boleh redup oleh satu kematian.


Sang Pewaris Cahaya

Ki Anom Suroto lahir di Juwiring, Klaten, 11 Agustus 1948. Ia tumbuh dari keluarga dalang. Ayahnya, Ki Sadiyun Harjadarsana, adalah pewaris awal sabda pedalangan yang kemudian diteruskan oleh putranya ini. Dari rahim tradisi itulah, darah dalang mengalir di tubuhnya seperti gamelan mengalir dalam udara malam.

Ia pernah berguru pada Ki Nartasabdo, dan menempuh pendidikan di Himpunan Budaya Surakarta, Pasinaon Dalang Mangkunegaran, Pawiyatan Keraton Surakarta, hingga Habiranda Yogyakarta.
Debutnya di RRI tahun 1968 menjadi titik tolak perjalanan panjang menuju legenda.

Setelah itu, dunia menjadi panggungnya.
Ia mendalang di Amerika, Jepang, Spanyol, Jerman, Australia, Rusia_membawa semangat Jawa ke segala penjuru, tanpa kehilangan akarnya.

Dalam setiap lakon yang ia mainkan, dari Kresna Duta hingga Bharatayudha, ia tak sekadar bercerita tentang dewa dan ksatria. Ia bercerita tentang kita semua: tentang rakyat yang mencari kebenaran, tentang bangsa yang tak boleh lupa pada akarnya.




Bayang-bayang yang Pulang

Kini, sang penguasa kelir itu telah menutup lakonnya.
Kelir sudah digulung, blencong padam, gamelan berhenti berdentang. Tapi sabetannya, suaranya, dan pitutur-pitutur yang disampaikannya_masih bergema di hati kita.

Bagi saya, Ki Anom bukan sekadar dalang. Ia adalah lisan kebudayaan, penyambung zaman, penerang di tengah redupnya makna. Ia telah mengajarkan bahwa dalam setiap bayangan, selalu ada cahaya yang menuntun arah.

Maka ketika kabar duka itu sampai, saya terdiam lama. Seolah mendengar kembali suaranya dari masa silam,

“Lakon iki mung titipan, Mas. Yen wis wayahe, kabeh kudu bali marang pepadhang.”

Ya, kini beliau telah pulang ke cahaya yang dulu memantulkan bayangannya.
Dan di hadapan kelir semesta, mungkin ia tengah mendalang lagi_kali ini untuk para leluhur, dalam pakeliran abadi yang tak pernah selesai.

Selamat jalan, Ki Ageng H. Anom Suroto.
Bayang-bayangmu telah menyatu dengan cahaya,
dan suara sabdamu akan terus menggema_
dari kelir dunia, sampai layar langit di mana para dalang sejati berpentas tanpa henti.

* * *

Tutupnya Satu Zaman: Dalang, Zaman, dan Doa yang Menjelma Bayangan

Kematian seorang dalang besar seperti Ki Anom Suroto bukan sekadar berita duka. Ia adalah tanda zaman.
Zaman yang dulu hidup dalam blencong dan kelir, dalam sabetan dan suluk, kini kian digerus oleh layar-layar digital dan sorot neon tanpa makna. Maka ketika seorang dalang berpulang, sesungguhnya bukan hanya seorang manusia yang tiada, tapi juga sebuah cara bangsa ini bercermin yang ikut memudar.

Dalang adalah jantung dari kebudayaan Jawa_bukan karena ia bisa memainkan ratusan tokoh, tapi karena ia memahami jiwa manusia. Ia tahu kapan seorang Arjuna harus menundukkan busur, kapan Kresna mesti berbohong demi kebenaran, kapan Puntadewa harus memilih diam agar dunia tidak pecah. Dalam tangan dalang, wayang bukan sekadar hiburan, tapi cermin kosmos: perjumpaan antara yang fana dan yang baka, antara yang kasar dan yang halus, antara dunia dan surga.

Maka ketika Ki Anom menutup lakonnya, sesungguhnya ia sedang mengajarkan pada kita cara berpulang yang anggun: menyelesaikan sabetan terakhir tanpa kehilangan irama.
Ia tidak mati; ia rampung.
Ia tidak hilang; ia menyatu.
Sebab bagi dalang sejati, kelir bukanlah batas, melainkan gerbang_menuju pakeliran yang lebih luas, di mana ia kini mungkin sedang mendalang bersama para leluhur: Ki Nartasabdo, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Sadiyun, dan banyak lagi yang sudah lebih dulu menyeberang.

Zaman boleh berubah, tapi roh kebudayaan tidak boleh padam.
Tugas kita, anak cucu penonton dan pewarta, adalah menyalakan kembali blencong itu_di panggung-panggung kecil, di radio, di tulisan, di ingatan, di doa. Sebab jika tidak, kita akan kehilangan bahasa yang paling tua: bahasa bayangan yang mengajarkan terang.

Dan malam ini, di sela angin yang membawa bunyi gamelan dari kejauhan, saya membayangkan suara beliau masih menggema, lirih tapi dalam:

“Hidup iki mung lakon, Mas. Sing penting, sabetanmu kudu becik, ora gawe lara wong liya.”

Lakon memang berganti.
Tapi sabetan-sabetan suci itu masih akan dikenang_sebagai doa, sebagai cahaya,
dan sebagai napas yang terus menghidupkan wayang dalam diri bangsa ini.

* * *


Epilog: Doa di Balik Kelir

Di balik kelir yang telah digulung,
masih tersisa cahaya blencong yang tak mau padam.
Mungkin itu bukan lagi cahaya minyak,
melainkan cahaya jiwa yang ditinggalkan Ki Anom Suroto bagi generasi penerus.

Angin malam menggeser kain langit,
dan di sanalah, di antara bintang-bintang,
mungkin beliau kini sedang mendalang kembali_
menceritakan tentang dunia yang terus berubah,
tentang manusia yang kerap lupa pada akar dan sabdanya sendiri.

Wayang pun hidup lagi di sana:
Semar tersenyum, Arjuna merenung, Kresna berbisik.
Sementara di bumi, kita mendengar gaungnya lewat detak jantung kita sendiri.
Sebab setiap manusia, sejatinya, adalah dalang bagi hidupnya sendiri.
Kita hanya perlu menyalakan kembali blencong di dalam dada_
agar tak tersesat di antara bayang-bayang zaman yang kian kabur batasnya.

Selamat jalan, Ki Ageng H. Anom Suroto.
Semoga sabetanmu kini menjadi doa,
caturmu menjadi zikir,
dan lakonmu menjadi suluk panjang yang tak berkesudahan,
di panggung abadi yang disediakan Tuhan bagi para dalang sejati.

“Saben wayang iku nyimpen uripé, saben urip iku mung sawisé cahya.”
(Setiap wayang menyimpan kehidupan, dan setiap kehidupan hanyalah bayangan dari cahaya.)


[mp]



artikel ini telah tayang di SINI