
Ilustrasi investasi asing di Indonesia. (grafis: mahar p/mpsyndicates) 
Essai Mahar Prastowo
Kita mulai dari angka yang tidak bisa berbohong. Pada kuartal III 2025, realisasi investasi di Indonesia mencapai Rp 491,4 triliun - tumbuh 13,9 persen dibanding tahun lalu. Dari jumlah itu, PMA (Penanaman Modal Asing) sebesar Rp 212 triliun, dan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) Rp 279,4 triliun.
Jika diakumulasi sejak Januari hingga September, totalnya menembus Rp 1.434,4 triliun - sebuah capaian yang pantas dibanggakan.
Tapi di balik angka-angka itu, selalu ada cerita yang lebih menarik: tentang siapa yang menanam, dan siapa yang sebenarnya menuai.
Singapura: “Tetangga” yang Besar Sekali
Dari data Fortune Indonesia, negara asal investor asing terbesar di Indonesia bukan Amerika, bukan Jepang, bukan Tiongkok. Tapi Singapura, dengan nilai investasi sekitar US$ 12,6 miliar sepanjang 2025.
Negeri kecil di seberang Batam itu sudah lama dikenal sebagai financial hub Asia Tenggara. Semua uang yang ingin “diputihkan”, “diputar”, atau “dijaga” reputasinya, kerap mampir dulu ke sana. Regulasi keuangannya ketat, jaringannya global, dan reputasinya - nyaris steril.
Karena itu, wajar bila Singapura selalu di urutan pertama. Tapi pertanyaan yang sering muncul - baik di warung kopi, di forum akademik, maupun di ruang-ruang parlemen - adalah:
Apakah itu benar-benar uang Singapura?Kecurigaan Publik: Uang Kita yang Pulang?
Sudah lama ada bisik-bisik, yang kini makin sering diucapkan keras: bahwa sebagian besar investasi Singapura di Indonesia sebenarnya adalah uang orang Indonesia sendiri.
Uang yang dulu “menyeberang” karena alasan keamanan, kerahasiaan, atau bahkan karena “tidak mau ribet dengan pajak”.
Ada yang menyebut, itu uang korporasi besar yang menaruh cadangan dananya di bank-bank Singapura karena sistemnya lebih efisien. Ada juga yang menduga, itu uang hasil korupsi APBN, atau dana dari bisnis gelap yang diputar melalui special purpose vehicle (SPV) di sana.
Kecurigaan ini masuk akal. Karena setiap tahun, Bank Indonesia mencatat aliran dana ke luar negeri mencapai miliaran dolar. Sebagian memang resmi: untuk ekspansi, cadangan investasi, atau kebutuhan impor. Tapi sebagian lain? Entahlah.
Sulit dilacak, karena ketika dana sudah “berubah baju” menjadi dana Singapura, ia datang kembali ke Indonesia dengan identitas baru: investor asing.Ironis bukan?
Uang kita sendiri yang pulang ke rumah lewat pintu depan, tapi sudah berganti paspor.
Antara Fakta dan Persepsi
Apakah itu salah? Tidak selalu.
Banyak perusahaan Indonesia yang memilih Singapura sebagai tempat mendirikan kantor induk (holding) karena alasan efisiensi pajak, akses ke pasar modal global, dan kepastian hukum.
Dengan begitu, investasi yang tercatat sebagai PMA sebenarnya adalah reinvestasi dari perusahaan nasional yang hanya mengganti benderanya.
Tapi masalahnya bukan di legalitas, melainkan di moralitas ekonomi.
Apakah sistem keuangan kita terlalu rumit hingga orang lebih percaya menitipkan uangnya di negara tetangga?
Apakah birokrasi dan perpajakan kita terlalu tidak ramah hingga pelaku bisnis merasa lebih nyaman bersembunyi di seberang?
Pertanyaan-pertanyaan ini lebih penting daripada sekadar angka. Karena yang kita butuhkan bukan hanya modal, tetapi kepercayaan.
Asia Masih Menguasai Panggung
Selain Singapura, negara asal investor lain yang menonjol adalah Hong Kong (US$ 7,3 miliar), Tiongkok (US$ 5,4 miliar), Malaysia (US$ 2,7 miliar), dan Jepang (US$ 2,3 miliar).
Artinya, poros investasi kita kini lebih condong ke Asia - bukan Barat.
Kedekatan geografis dan kepentingan industri membuat Asia lebih agresif dalam menanamkan modalnya di sektor hilirisasi, energi, dan transportasi.
Namun, dominasi Asia ini juga berarti satu hal: kita tidak sedang bebas, kita hanya berpindah ketergantungan. Dari “Barat” ke “Timur”.
Uang Boleh Datang, Tapi Harus Berakar
Uang boleh datang, tapi jangan hanya lewat.
Kalau investasi datang, buka lapangan kerja, transfer teknologi, itu bagus. Tapi kalau cuma memutar uang untuk mendapatkan bunga atau keuntungan cepat, maka kita hanya jadi halaman belakang.
Negara seperti Singapura bisa memimpin investasi di Indonesia bukan karena tanahnya subur, tapi karena sistemnya subur.
Mereka punya kepastian hukum, birokrasi ramping, dan kepercayaan tinggi.
Sementara kita masih bergulat dengan izin yang berlapis, pungutan tak resmi, dan pejabat yang lebih sibuk mengatur daripada memfasilitasi.
Kecurigaan soal “uang kita sendiri yang muter lewat Singapura” sebenarnya bukan teori konspirasi. Itu sinyal peringatan:
bahwa sistem keuangan kita belum dipercaya oleh bangsanya sendiri.
Pulanglah, Uang Indonesia
Investasi besar memang menggembirakan. Tapi akan lebih menggembirakan jika yang menanam bukan cuma “asing berbahasa Indonesia”, melainkan orang Indonesia sendiri yang percaya kepada negaranya.
Singapura boleh jadi jendela uang Asia, tapi Indonesia harus jadi tanah tempat uang berakar.
Dan itu hanya bisa terjadi bila kita membenahi sistem: hukum yang adil, birokrasi cepat, dan pajak yang tidak mencekik.
Selama itu belum terjadi, maka investasi Singapura akan terus tumbuh - bukan karena mereka kaya, tapi karena kita belum cukup percaya pada diri sendiri.
“Kadang, uang tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya mencari tempat yang lebih tenang.”
 - Mahar Prastowo
Artikel ini juga terbit di SINI
 
 
 
 
 
 
 
 
0 Komentar