|  | 
| Momen Prabowo Subianto mencium hajar aswad (foto:BPMI) | 
Di tengah gema panggilan haji yang kian bergema di seluruh Indonesia, datang kabar yang membawa harapan: biaya untuk menunaikan rukun Islam kelima itu menurun, dan masa tunggu pun dipangkas. Itulah yang diungkap oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam pengantar Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu.
Penurunan Biaya: Angka dan Fakta
Untuk penyelenggaraan haji reguler tahun 1446 H/2025 M, pemerintah bersama DPR menyepakati bahwa besaran rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) adalah Rp 89.410.258,79. Dari jumlah itu, jemaah hanya membayar rata-rata Rp 55.431.750,78, sedangkan sisanya ditanggung dari nilai manfaat dana haji. Tahun sebelumnya, total BPIH mencapai sekitar Rp 93 juta - artinya, turun sekitar 4 juta rupiah.
Sebuah kabar yang tentu disambut syukur - setidaknya oleh mereka yang sudah punya nomor porsi dan tabungan cukup di bank syariah.
Waktu Tunggu Dipangkas: Target 26 Tahun
Pemerintah juga menargetkan masa tunggu haji yang semula bisa menyentuh 40 tahun kini akan dipangkas menjadi 26 tahun. Presiden meminta agar waktu tunggu terus diperpendek. “Saya minta biaya haji terus turun dan pelaksanaannya bersih,” ujarnya.
Namun, di banyak daerah, antrean masih panjang. Di Bantaeng, misalnya, calon jemaah yang mendaftar hari ini baru bisa berangkat tahun 2051. Di Kalimantan Selatan, 2053. Artinya: ada anak SMP yang mendaftar haji hari ini, baru berangkat ketika sudah punya cucu.
Mengapa Bisa Turun? Efisiensi dan Diplomasi
Penurunan biaya ini dihasilkan dari efisiensi dan hasil negosiasi dengan pemerintah Arab Saudi. Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah menjadi langkah besar dalam penataan. Bahkan, Indonesia akan memiliki “Kampung Indonesia” di Makkah, lahan khusus yang akan digunakan untuk logistik dan layanan jemaah.
Langkah ini bukan sekadar reformasi birokrasi. Ia sinyal bahwa Indonesia ingin punya posisi strategis dalam tata kelola haji dunia.
Satire: Antrean Haji dan “Bisnis Sabar”
Tapi di luar gedung Istana, ada bisnis yang tumbuh diam-diam: jual beli nomor porsi haji. Sebuah ekonomi bayangan yang berputar di antara mereka yang ingin “berangkat lebih cepat”—karena takut tidak sempat.
Ada yang khawatir usia tak panjang, ada yang takut niat berubah, bahkan ada yang bergurau, “Kalau lama-lama nunggu, nanti malah murtad, nggak jadi berangkat.”
Maka jadilah antrean haji seperti pasar sekunder saham: nomor porsi dipindahtangankan, lengkap dengan surat kuasa dan “biaya administrasi” yang diam-diam disepakati.
Lucunya, semakin panjang antrean, semakin mahal pula “harga sabar”. Orang beriman diuji bukan lagi di Padang Arafah, tapi di meja notaris dan grup WhatsApp calon jemaah.
Bahkan muncul istilah baru: haji inden, haji over porsi, dan haji kilat. Semua dengan satu alasan: takut ajal keburu datang sebelum pesawat Garuda menjemput.
Inilah potret satir bangsa yang terlalu banyak orang sabar, tapi sedikit yang siap menunggu.
Tantangan yang Masih Terbentang
Namun di balik semua optimisme, tantangannya nyata: biaya memang turun, tapi Rp 55 juta tetap angka besar bagi sebagian rakyat.
Masa tunggu 26 tahun masih terlalu panjang bagi warga lanjut usia. Dan tentu, efisiensi tak boleh mengorbankan kenyamanan dan keselamatan jemaah.
Antara Ibadah dan Manajemen Harapan
Berita baik ini harus disambut gembira - tapi juga disambut dengan tanya.
Turunnya biaya dan berkurangnya waktu tunggu adalah keberhasilan manajerial. Tapi ujian terbesarnya adalah mengelola harapan: agar ibadah haji tidak berubah menjadi proyek, antrean menjadi komoditas, dan kesabaran menjadi barang dagangan.
Karena sejatinya, yang diuji bukan hanya keuangan dan fisik, tapi juga iman dan kesabaran - dua hal yang nilainya tak bisa ditukar dengan nomor porsi berapapun.
 [mp]
Essai ini juga terbit di sini dengan judul Kabar Gembira dari Istana: Biaya Haji Turun, Waktu Tunggu Dipangkas
 
 
 
 
 
 
 
 
0 Komentar