Essai Taufik Zackariya

Di Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar Jakarta Timur, hukum kini tidak lagi sekadar kata yang terasa jauh dan kaku. Ia telah punya wajah—ramah, sederhana, dan dekat dengan kehidupan warga.
Wajah itu bernama Kelompok Keluarga Sadar Hukum, atau yang biasa disebut Kadarkum.

Tanggal 14 Oktober 2025, Lurah Faisal Rizal menandatangani sebuah keputusan sederhana: Keputusan Lurah Nomor 249 Tahun 2025 tentang Pembentukan Kelompok Keluarga Sadar Hukum Kelurahan Kebon Pala.
Tiga lembar kertas dengan kop resmi, cap biru, dan deretan nama warga yang tak semua dikenal publik. Tapi di balik tanda tangan itu, ada semangat baru: bagaimana hukum bisa hidup di gang-gang sempit, bukan hanya di gedung pengadilan.

Empat pembina menjadi pilar awalnya: Faisal Rizal, sang lurah yang percaya hukum harus ditanam dari bawah; Edy Lala, Babinsa yang lebih sering keluar masuk gang membawa pesan-pesan kamtibmas lingkungan daripada senjata; Sigit Haryanto, Bhabinkamtibmas yang sudah hafal betul jalan tikus di dengan segala dinamikanya; dan H. T. Syamsul Bachri, tokoh sepuh yang menjaga agar hukum tak kehilangan hati nurani.

Mereka membentuk tim kecil berisi lima belas warga dari latar belakang yang beragam. Ada yang pedagang, ada pegawai, ada yang aktif di FKDM, ada pula anggota LMK dan pekerja sosial.
Namun, di antara nama-nama itu, dua sosok menonjol karena kisah dan pengalamannya: Hambali dan Mahar Prastowo.

Hambali kini menjadi ketua kelompok. Lelaki ramah yang menekuni dunia industri pariwisata. Dari dunia itulah ia belajar: bagaimana mendengarkan orang dengan sabar, bagaimana meredam konflik tanpa meninggikan suara.
Kini, kemampuannya itu untuk tetangga—menengahi pertikaian kecil sebelum membesar, menjelaskan peraturan dengan bahasa yang dimengerti semua orang.

Sementara Mahar Prastowo, salah satu anggota Kadarkum, dikenal sebagai jurnalis tua yang sudah menulis sejak masa reformasi. Di usianya yang tak muda lagi, ia tetap aktif dalam kegiatan sosial dan kini juga menjadi paralegal, dan mengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jakarta Timur.
Baginya, Kadarkum bukan sekadar tugas administratif, tapi bagian dari panggilan nurani.
“Hukum yang tidak bisa dimengerti rakyat kecil bukanlah hukum yang adil,” ujarnya. “Tugas kita adalah menerjemahkan keadilan, bukan menakut-nakuti dengan pasal.”

Ia sering menjadi narasumber dalam berbagai isu, dan kini, bersama warga lainnya, bertekad menjadikan hukum sebagai bagian dari budaya hidup, bukan sekadar alat kontrol.

Selain dua nama itu, dalam tim Kadarkum ada Marhusin, Bambang Priono, Agus Winarto, Hamzah B.H. Ahmad, Sujarno, Riyantono, Afriyadi Syahputra Saragih, Sandi Abidin, Hasannudin, Mangister Manalu, Nurrohmad, Fredikus Tedi Pareira, dan Agus Urip.
Mereka datang dari berbagai latar belakang profesi—ada wiraswasta, karyawan, penggerak FKDM, tokoh LMK, hingga aktivis lingkungan. Mereka tidak berseragam hukum, tidak bergelar SH atau MH. Tapi mereka punya satu hal yang sama: kepedulian.

Dalam keputusan Lurah itu disebutkan tugas mereka: mengikuti kegiatan penyuluhan hukum, menyebarluaskan informasi hukum ke masyarakat, menengahi konflik sosial secara non-litigasi, hingga memberi layanan konsultasi hukum di Pos Bantuan Hukum Kelurahan.
Namun di Kebon Pala, maknanya lebih luas dari sekadar tugas. Mereka menjadi penanda bahwa hukum kini bisa disapa, diajak bicara, dan bahkan diajak ngopi bersama bersama warga. Tidak ada toga, tidak ada mikrofon resmi. Hanya obrolan ringan soal kasus sengketa parkir antarwarga dan sebagainya.

Inilah hukum versi kampung—yang tidak kaku, tapi hidup.
Yang tidak datang dari atas, tapi tumbuh dari bawah.

Lurah Faisal Rizal tampaknya puas dengan peran tim dalam SK itu, atas peran mereka di masyarakat selama ini. Ia tahu, keputusan kecil ini bukan akhir, tapi awal dari proses panjang membangun kesadaran hukum.
“Kita ingin hukum tidak berhenti di kantor kelurahan,” ujarnya. “Kita ingin hukum ikut duduk di warung kopi, di pos pos ronda warga.”

Dari pernyataan itu, semangat Kadarkum menemukan arah. Bahwa keadilan tidak perlu menunggu pengadilan; ia bisa dimulai dari meja kayu di pos ronda, dari tangan warga yang mau mendengar, dari hati yang mau memahami.

Kini, nama-nama dalam surat keputusan itu tak lagi sekadar deretan huruf di atas kertas. Mereka hidup, bekerja, dan berjalan di antara gang-gang yang kadang becek, kadang gelap, tapi penuh harapan.
Dari Hambali insan pariwisata, Mahar Prastowo si jurnalis tua, hingga rekan-rekan mereka yang datang dari beragam profesi—mereka mendapat peran baru hukum di Jakarta Timur.

Mereka bukan penegak hukum.
Mereka adalah penghidup hukum.

Karena di Kebon Pala, hukum kini bukan lagi soal takut.
Tapi soal tahu—dan peduli.

 [tz]