A+ | Ada malam tertentu ketika doa terasa lebih berat dari biasanya. Malam ketika seorang pemuda duduk di serambi kamarnya, memandang keluar jendela, dan bertanya pada dirinya sendiri: Apakah cinta boleh membawa seseorang meninggalkan keyakinan yang telah mendidih selama berabad-abad dalam dadanya?

Namanya Rahmad. Tak ada yang istimewa darinya selain kesungguhannya menjaga ibunya dan melunasi cicilan sepeda motornya tepat waktu. Namun hidup kerap menjebak manusia biasa dalam kisah luar biasa. Dan kisah itu mulai ketika ia jatuh cinta pada seorang perempuan Katolik yang ditemuinya dalam sebuah kegiatan kampus.

Cinta itu sederhana pada mulanya. Seperti desir angin pertama sebelum hujan. Tapi semakin lama, ia berubah menjadi arus deras yang menyeret, mengikis batas, dan kemudian menabrakkan Rahmad pada kenyataan: bahwa ia seorang Muslim, dan ia sedang berjalan terlalu jauh.

Dalam sebuah catatan lama, para ulama menulis ayat demi ayat seperti lampu-lampu kecil di jalan gelap. Dalam Al-Qur’an, termaktub jelas:
“Janganlah kamu menikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman…”
(QS. Al-Baqarah: 221)

Ayat itu tidak lahir dari kebencian. Tidak juga lahir dari prasangka masa lalu. Ia lahir dari satu hal: perlindungan. Iman manusia, setebal apa pun, tetap lembut di titik tertentu.

Rahmad membaca ayat itu di suatu malam yang gelisah. Tangannya bergetar. Di titik itulah ia merasa dirinya seperti berdiri di halaman masjid setelah hujan, dengan bayangannya sendiri terbelah dua.

Satu bayangan ingin bertahan.
Satu bayangan ingin melangkah lebih jauh.

Fenomena Rahmad bukan cerita baru. Di banyak kota besar, ada cerita-cerita serupa yang beredar pelan seperti desas-desus di udara. Tentang bagaimana sebagian perempuan gereja, terutama yang aktif di komunitas pemuda, bagaikan cahaya bening yang mudah menerangi ruang hati lelaki muda Muslim. Sebagian memang tulus. Tetapi sebagian lain dituntun oleh misi tertentu: mendekati, mencairkan, lalu perlahan mengubah arah hidup sang lelaki.

Tidak selalu keras.
Tidak dengan paksaan.
Seringnya lewat senyum lembut, diskusi panjang, dan undangan kecil ke “acara komunitas”.

Rahmad merasakan itu. Ia mulai sering diajak menghadiri pertemuan. Bukan ritual sakral, tetapi diskusi ringan tentang nilai-nilai cinta dan kehidupan. Awalnya ia menikmati. Lama-lama ia merasa diajak menapaki jalan baru yang tidak pernah ia rencanakan.

Sosiolog mungkin menyebut fenomena ini sebagai “rekayasa identitas afektif”: ketika cinta digunakan sebagai pintu masuk perubahan keyakinan. Ulama menyebutnya “fitnah iman.” Sastrawan Taufik Ismail, jika mencatatnya dalam buku harian, mungkin menyebutnya “luka kecil yang bisa menjadi lubang besar pada jiwa.”

Di tengah kisah Rahmad, sebuah berita muncul dari Jakarta:
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 yang menegaskan larangan bagi seluruh pengadilan di Indonesia untuk mengabulkan permohonan pernikahan beda agama. Apa pun bentuknya, apa pun dalihnya, apa pun romantismenya.

Dan Dukcapil telah menutup pintu itu rapat-rapat. Perkawinan beda agama tidak akan dicatat. Negara berdiri tegak, kali ini. Tidak memberi celah.

Surat Edaran itu bergema ke seluruh wilayah seperti lonceng sunyi:
bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dinegosiasikan.

Rahmad membaca berita itu di layar teleponnya. Wajahnya pucat. Masa depannya seakan menabrak tembok. Namun tembok itu bukan sekadar aturan negara. Ia seperti pengingat dari tempat lebih tinggi: bahwa cinta memiliki pagar.

Pada suatu sore, Rahmad mendatangi masjid kecil dekat rumah. Ia duduk di saf paling belakang. Suara imam mengalun pelan, membaca ayat yang seakan ditulis untuk dirinya:
“Dan tidaklah pantas bagi orang beriman, laki-laki maupun perempuan, bila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu ketetapan, lalu mereka memilih pilihan lain…”
(QS. Al-Ahzab: 36)

Rahmad menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ada sesuatu yang runtuh. Tapi ada pula sesuatu yang tumbuh kembali: kesadaran bahwa hidup bukan hanya tentang sepasang kekasih. Hidup adalah tentang siapa yang menuntunmu pulang.

Di luar masjid, senja turun seperti tirai pelan.
Burung-burung kembali ke sarangnya.
Dan Rahmad, dengan langkah yang berat namun pasti, kembali ke rumah membawa keputusan yang mungkin mematahkan hatinya hari ini, tetapi akan menyelamatkan imannya esok hari.

Karena ada cinta yang harus diperjuangkan.
Ada cinta yang harus dilepaskan.
Dan ada cinta yang harus dijaga agar tidak berubah menjadi luka paling panjang dalam hidup seorang manusia.

[]