A+

6/recent/ticker-posts

Press Release "2 di Batas Cakrawala"



”Setelah 25 Tahun Menghilang, Mereka Kembali Pulang”

Peluncuran Antologi Puisi dan Bedah Buku
2 di Batas Cakrawala
Karya Nana Ernawati & Dhenok Kristianti

“”
“”
Sebagaimana ranah kehidupan yang lain, dunia sastra di Indonesia senantiasa ditandai oleh  kehadiran dan kepergian para penghuninya.  Selalu saja terjadi kehadiran penghuni baru, keberadaan dan kiprah penghuni lama serta kepergian satu atau beberapa penghuninya. Sekali waktu muncul pemandangan lain, yakni kembalinya satu atau beberapa penghuninya yang sempat menghilang kembali. 

Pada 2011 ini, dua penghuni rumah sastra Indonesia yang lama menghilang, Nana Ernawati dan Dhenok Kristianti  “tiba-tiba” kembali. Sebelumnya, keduanya dikenal sebagai pekerja sastra  yang aktif menghiasi ruang-ruang sastra di media massa, antologi dan berbagai medium sastra dengan karya-karya mereka, baik puisi  maupun prosa. Keduanya dikenal sebagai penyair Yogyakarta dekade 1980-an

Nana Ernawati mengawali kepenyairannya sejak terpilih  sebagai juara II Lomba Cipta Puisi Renas yang diadakan Harian Berita Nasional Yogyakarta. Sejak saat itu puisi-puisi dan cerpennya acap menghiasi berbagai harian seperti Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Sinar Harapan dan lain-lain. Beberapa karya perempuan penyair kelahiran Yogyakarta 28 Oktober 1961 ini juga menghiasi antologi “Penyair Tiga Generasi”, “Tugu”, dan “Tonggak 4”.

Sementara Dhenok Kristianti dikenal sebagai penyair yang karya-karyanya kerap dipublikasikan di berbagai surat kabar dan majalah seperti Sinar Harapan, Berita Nasional, Minggu Pagi, Suara Karya dan Majalah Kebudayaan Basis. Sebagaimana Nana beberapa puisinya juga menyemarakkan antologi puisi seperti “Penyair 3 Generasi”, “Menjaring Kaki Langit”, “Tugu”, serta “Tonggak 4”.

Perempuan kelahiran Yogyakarta 25 Januari 1961 ini juga menulis cerita pendek (cerpen). Cerpen-cerpennya kerap muncul di ruang-ruang sastra media cetak seperti  Sinar Harapan, Bali Post, Kartini, Hai, dan Nova. Beberapa kali ia memenangi lomba cerpen dan penghargaan. Di antaranya  dari majalah  Hai dan Zaman (1978 dan 1979); juara I lomba penulisan cerpen yang diadakan Kopertis Wilayah V; juara I penulisan cerpen yang diadakan Majalah Kartini (1987). Pada 2003 cerpennya juga terpilih sebagai salah satu pemenang Lomba Menulis Cerita Pendek yang diadakan Departemen Pendidikan Nasional.

Kalangan pekerja sastra, seperti penyair Joko Pinurbo  menilai Nana dan Dhenok sebagai dua penyair berbakat sekaligus bagian penting dari dunia puisi Yogyakarta pada 1980-an. Bahkan Andrik Purwasito, penyair lain yang juga guru besar pada FISIP UNS, menilai puisi-puisi mereka patut diperhitungkan dalam percaturan puisi Indonesia. (2 di Batas Cakrawala, Galang Press, 2011)

Namun selepas dekade 1980-an dunia sastra Indonesia seakan kehilangan jejak kepenyairan mereka. Joko Pinurbo menyebut keduanya ditelan rejim rumah tangga dan pekerjaan. Dunia lain memaksa mereka meninggalkan dunia sastra.

Nana menikah dengan seorang politikus, tinggal di Jakarta, dikaruniai tiga anak. Dhenok kini tinggal di Bali bersama suami dan ketiga anaknya karena harus mengikuti suaminya yang bertugas di pulau dewata itu. Dhenok bekerja sebagai guru di Gandhi Memorial International School Bali setelah  sebelumnya mengajar di Sekolah Pelita Harapan – Lippo Karawaci Tangerang  


Puisi tak pernah mati
Namun puisi tak pernah mati, bagi yang mencintainya.”Kredo” penyair Mustofa W Hasyim itu juga berlaku bagi Dhenok dan Nana. Puisi,  kata Joko Pinurbo, sangat mengasihi dan merindukan keduanya dan dengan caranya sendiri menjemput mereka dari rumah persembunyian, dari kematangan usia 50.

Bahkan Bambang Widyatmoko, penyair yang juga dosen di Universitas Mercu Buana Jakarta mengatakan, seperti magma yang telah lama tersimpan di perut Gunung Merapi, demikian pula Dhenok dan Nana. “Tiba-tiba saja mereka berdua mengeluarkan erupsi dengan sajaksajak yang bernas, matang, dan tentu menyuburkan jagad sastra Indonesia modern kita,” kata Bambang.

Ya, kini keduanya telah kembali ke rumah sastra Indonesia. Kehadiran mereka ditandai dengan terbitnya antologi bersama 2 di Batas Cakrawala.  Melalaui antologi itu keduanya seperti ingin mengatakan bahwa puisi sangat mengasihi dan merindukan keduanya dengan caranya sendiri. Pada jiwa mereka puisi terbukti tak pernah mati

Dari segi literer Joko Pinurbo menilai sajak-sajak yang tmapil di dalam antologi 2 di Batas Cakrawala sebagai sajak-sajak yang bersahaja, yang tidak dibelepoti oleh kenorakan dan kerumitan bahasa. Ahmadun Yosi Herfanda, anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta menilai sajak-sajak dalam buku ini mengesankan para penyairnya percaya bahwa untuk menciptakan keindahan ... tidak perlu melalui bahasa yang rumit dan gelap serta penuh lambang-lambang yang sulit ditebak maknanya.

Meskipun demikian, tutur Ahamdun, keduanya tetap mampu menghadirkan metafor-metafor cukup segar dengan citraan-citraan yang hidup unik, dan indah, .... Sementara Andrik menilai keduanya sebagai para penyair dengan kekuatan akustik pada setiap bait puisi mereka dan jernih menyuarakan respon realitas. Erna selalu jujur dengan apa yang diyakininya dan Dhenok tak berbasa-basi dalam memandang kehidupan.

Boleh jadi dalam satu dua puisi kita menemukan keterbataan berucap, tapi kita juga akan menemukan pendar-pendar langkah menuju kamar sublimitas yang kita inginkan. (Willy Pramudya, 2011)

Dari segi non- literer, Ahmadun dengan tajam melihat sisi yang menarik pada kehadiran antologi ini, yakni menyatunya dua penyair yang berbeda agama dalam satu buku. Nana seorang Muslimah dan Dhenok seorang Kristiani. Puisi telah menyatukan dua hati yang berbeda keyakinan ke dalam sebuah buku kumpulan sajak yang penuh isyarat rasa persaudaraan, dengan binar-binar hikmah dan pencerahan.

Memang tidak dapat dipungkiri, pada banyak momentum dan kesempatan, puisi berpeluang membuka dialog antarbudaya dan antarkeyakinan, sehingga tumbuh sikap positif, untuk kemudian meminimalisir perbedaan yang ada, guna menumbuhkan rasa saling memahami dan menghormati. Di sinilah puisi berperan dalam menciptakan perdamaian dalam keharmonisan hidup.



Pengakuan Nana dan Dhenok

Mengapa ”2 DI BATAS CAKRAWALA”?

Bukan tanpa alasan kami memberi judul kumpulan puisi ini “2 di Batas Cakrawala”. Angka ‘2’ sudah pasti menunjukkan bahwa buku ini hasil keroyokan antara kami berdua (Nana Ernawati dan Dhenok Kristianti) yang sama-sama rindu pada masa lalu, sekaligus masih memiliki harapan akan masa depan.

Secara kebetulan memang kami masing-masing menulis puisi dengan
judul yang sama (Di Batas Cakrawala), meskipun cara pandangkami tentang topik yang satu ini sangat berbeda. Kata ‘di batas cakrawala’ berhubungan erat dengan perjalanan hidup kami yang sudah cukup panjang. Kami merasa bahwa saat ini kami berdua sudah tiba di garis batas, sehingga perlu berbenah untuk memasuki tahapan baru dalam proses hidup selanjutnya.

Kesadaran bahwa harus ada sesuatu yang kami kerjakan dalam memaknai keberadaan diri, memaksa kami menengok ke belakang dan… alangkah menyedihkan! Sekian tahun kami menenggelamkan diri dalam zona aman keluarga dan pekerjaan, tanpa mempublikasikan karya-karya kami, padahal Tuhan telah menitipkan sekeping talenta yang semestinya kami hargai dan kembangkan.

Memang tidak salah kami meletakkan keluarga dan pekerjaan di urutan pertama prioritas kami sebab keduanya adalah anugerah terindah dari-Nya. Meskipun demikian, sesungguhnya masih ada ruang untuk terus berkarya di tengah-tengah berbagai kesibukan, bahkan keluarga dan pekerjaan merupakan inspirasi terbesar bagi proses kreatif kami.

Itulah sebabnya, di batas cakrawala usia, kami memutuskan untuk mengumpulkan puisi-puisi yang kami tulis selama berada dalam ‘persembunyian’ yang kami ciptakan sendiri. Tentu saja kami memilih puisi-puisi yang sungguh menyuarakan perasaan dan pemikiran kami tentang berbagai masalah kehidupan. Beberapa di antaranya sengaja kami masukkan puisi-puisi yang pernah diterbitkan oleh media massa, sehingga buku ini benar-benar merupakan cermin perjalanan kami.

Anehnya, setelah kini tiba di batas cakrawala, tiba-tiba kami menyadari bahwa perjalanan belum selesai, belum boleh selesai. Karena itulah, bagi kami buku ini merupakan langkah awal untuk menjalani proses demi proses berikutnya. Selamat membaca!

Salam,
Nana Ernawati dan Dhenok Kristianti



Biodata

Nana Ernawati
Nana lahir di Yogyakarta 28 Oktober 1961. Pada dekade 1980-an Nana dikenal sebagai salah satu penyair di Indonesia. Kepenyairannya diawali ketika dia terpilih sebagai juara II dalam Lomba Cipta Puisi Renas yang diadakan oleh Harian Berita Nasional Yogyakarta. Sejak saat itu puisi-puisi dan cerpennya banyak diterbitkan oleh berbagai surat kabar seperti Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Sinar Harapan dan lain-lain. Beberapa di antaranya menghiasi antologi “Penyair Tiga Generasi”, “Tugu”, serta “Tonggak 4”.

Nana menikah dengan seorang politikus dan dikaruniai tiga anak. Kesibukannya ‘memaksa’-nya meninggalkan sementara waktu dunia kepenyairan yang telah digelutinya. Walaupun begitu, kebutuhan batin untuk berpuisi tidak pernah benar-benar ditinggalkan. Ia tetap menulis, tetapi tidak dipublikasikan dalam waktu yang cukup lama.

Kini setelah putra-putrinya beranjak dewasa, Nana ‘terpanggil’ untuk kembali menerbitkan puisi-puisinya dalam sebuah buku kumpulan puisi. Kumpulan puisi ini dibuat berdua dengan sahabatnya, Dhenok Kristianti, sebagai suatu pembuktian bahwa meskipun sudah menjadi istri, perempuan masih mampu berkarya, juga pembuktian pada anak-anaknya, bahwa ibunya ada.

Dhenok Kristianti
Dhenok Kristianti lahir di Yogyakarta, 25 Januari 1961. Pada dekade 1980-an ia dikenal sebagai salah satu wanita penyair yang karya-karyanya banyak
dipublikasikan di media massa, seperti Sinar Harapan, Berita Nasional, Minggu Pagi, Basis, dan Suara Karya. Beberapa puisinya menyemarakkan antologi puisi “Penyair 3 Generasi”, “Menjaring Kaki Langit”, “Tugu”, serta “Tonggak 4”.

Dhenok juga menulis cerita pendek dan beberapa kali memenangi lomba. Ia pernah mendapat penghargaan dari Majalah Hai dan Majalah Zaman pada 1978 dan 1979. Ia juga meraih juara I lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh Kopertis Wilayah V dan juara I penulisan cerpen yang diadakan Majalah Kartini tahun 1987. Pada 2003 cerpennya terpilih sebagai salah satu pemenang dalam Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) yang diselenggarakan oleh Depdiknas. Beberapa cerpen lainnya pernah dipublikasikan di Sinar Harapan, Bali Post, Kartini, Hai, dan Nova.

Saat ini Dhenok tinggal di Bali bersama suami dan ketiga putranya. Ia bekerja sebagai guru di Gandhi Memorial International School Bali; setelah kepindahannya dari Sekolah Pelita Harapan – Lippo Karawaci Tangerang karena mengikuti suaminya yang bertugas di Pulau Dewata. (Galang Press, 2011)

Posting Komentar

0 Komentar