Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Hidup di Pengasingan, Bertahan di Tengah Lupa (2)



Oleh: Mahar Prastowo

Bagian 2: Satu dekade setelah pengusiran massal itu, dunia telah melupakannya. Berita berganti. Konflik Palestina, perang Ukraina, krisis Myanmar. Afrika Tengah? Hanya tinggal paragraf kecil di arsip PBB.

Tapi mereka yang terusir masih hidup. Masih bernafas. Masih mengingat.

Di perbatasan Chad, saya bertemu Abdul Karim. Usianya belum 30, tapi wajahnya seperti pria 50 tahun. Ia dulu guru agama. Kini ia guru bayangan di kamp pengungsi. Ia mengajar tanpa buku. Mengaji dengan potongan-potongan ayat dari ingatannya. Murid-muridnya duduk di tanah, menulis di pasir.

“Kalau saya mati, Al-Fatihah akan ikut hilang,” katanya.

Ia bukan dramatis. Ia hanya berkata jujur.

Di Sudan Selatan, ribuan Muslim Afrika Tengah hidup di bawah terpal. Saat musim hujan, air masuk ke tenda. Saat musim panas, udara seperti neraka. Tapi mereka tidak pernah berhenti menyebut nama Tuhan.

Saya juga sempat ke kamp di utara Kamerun. Seorang ibu, Fatima, menunjukkan kepada saya foto rumahnya dulu di Bangui. Sudah rata dengan tanah. Masjid di sebelah rumahnya kini jadi pos tentara. “Mereka bilang kami tidak punya negara. Tapi kami yang pertama tinggal di sana,” katanya.

Ironi paling menyakitkan: banyak dari mereka tidak tahu Michel Djotodia kini tinggal di pengasingan juga. Ia hidup tenang. Tidak dipuja, tidak juga dibenci. Tapi sebagian besar pengikutnya kehilangan segalanya.

Namun satu yang tak mereka kehilangan: keyakinan bahwa kebenaran akan dicatat.

Dan mereka menaruh harapan itu pada jurnalis-jurnalis yang masih peduli.


 

Posting Komentar

0 Komentar