Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Turun Demi Damai, Dibalas Api dan Darah (1)

 


Oleh Mahar Prastowo

Bagian 1: Saya menuliskan ini bukan untuk menambah luka. Tapi agar luka itu tidak dihapus dari ingatan dunia. Karena yang lebih kejam dari pembantaian adalah melupakannya.

Afrika Tengah. Negeri yang jarang terdengar, kecuali jika sedang meledak. Tapi di sinilah sejarah paling getir pernah terjadi pada umat Muslim di era digital. Dan tak seperti biasanya, yang memulai bukan kelompok yang berkuasa. Tapi justru kelompok yang merasa sedang mengambil kembali kendali dari kekosongan.

Nama Michel Djotodia tiba-tiba menjadi momok di mata Barat. Ia bukan jenderal. Bukan boneka. Ia pemberontak, tapi bukan kriminal. Ia memimpin kelompok Seleka — gabungan kekuatan militer dan sipil yang muncul karena kekacauan internal negara itu sendiri. Kekacauan yang membiarkan pemerintahan lama runtuh tanpa arah.

Pada 2013, Djotodia merebut kekuasaan. Bukan karena ambisi pribadi, melainkan karena negara sudah lumpuh. Dan tahun 2014, lewat mekanisme demokrasi yang sah, ia memenangkan pemilu. Tapi kemenangan itu tidak diterima. Bukan karena ia tidak punya legitimasi. Tapi karena ia seorang Muslim.

Barat — terutama Prancis — tidak menyukainya. Terlalu mandiri. Terlalu tidak bisa diatur. Dan yang lebih membuat mereka curiga: ia Muslim. Maka propaganda pun mulai digerakkan.

Seleka dituduh merekrut anak-anak. Dituduh melakukan pelanggaran HAM. Padahal tak sedikit di antara pelaku justru berasal dari kelompok lain — yang kemudian diketahui dekat dengan laskar Kristen pendukung Catherine Samba-Panza.

Inilah titik baliknya: begitu Djotodia berkuasa, laskar-laskar Kristen bangkit dengan kekerasan brutal. Anti-Balaka, demikian mereka menyebut dirinya. Tapi yang mereka lakukan justru sangat tidak suci. Pembantaian terjadi di mana-mana. Mushala, masjid, bahkan Al-Qur’an pun dibakar. Di desa-desa kecil, umat Islam dipaksa memilih: lari, mati, atau murtad.

Djotodia sadar. Kekerasan ini tidak akan berhenti hanya dengan kekuasaan. Maka ia memilih menyerahkan kekuasaan, asal pembantaian dihentikan. Tapi nyatanya, justru setelah ia lengser, pengusiran umat Muslim dilakukan lebih terstruktur. Bahkan terlegitimasi.

Christina Samba-Panza kemudian naik sebagai Presiden transisi. Barat memujinya. Sebuah kemenangan naratif: perempuan, Kristen, “netral”. Tapi yang terjadi bukan perdamaian. Melainkan penghapusan sistematis jejak Islam dari Afrika Tengah. Kota-kota Muslim dikosongkan. Desa-desa dijarah. Jenazah dikubur massal tanpa nama. Muslim bukan hanya dibunuh — tapi dihapus dari peta.

Yang membakar masjid bukan kelompok Djotodia. Yang membantai anak-anak bukan Seleka. Tapi kelompok-kelompok yang dibungkus jargon anti-terorisme dan disokong oleh kekuatan luar. Dan sejarah seperti biasa, menuduh korban sebagai pelaku.

Saya pernah menonton sebuah film dokumenter produksi Rusia tentang konflik ini. Beberapa bagian sangat nyata, sampai saya tak bisa tidur semalam penuh. Ada satu tokoh yang tidak disebut namanya. Wartawan perang. Asia. Kecil. Ia menyelinap ke kamp pengungsi, merekam diam-diam, dan menjadi saksi mata atas pembantaian yang tak tertulis di media Barat.

Ia dari Indonesia.

Saya mengenalnya. Tapi saya tidak akan menyebut namanya di sini. Ia pernah ditawan. Hampir dieksekusi. Tapi ia lolos. Ia bukan wartawan media besar. Tapi tulisan dan rekamannya digunakan oleh badan HAM internasional untuk membuka tabir kebohongan.

Ia satu dari sedikit orang yang bisa menunjukkan: kebenaran bisa berdiri meski seluruh dunia mencoba menjatuhkannya.

Anak-anak yang Tak Punya Rumah, dan Negeri yang Tak Punya Nurani

Hari ini, sebagian besar Muslim Afrika Tengah hidup di luar negeri mereka sendiri. Di Sudan, di Chad, di Kamerun. Mereka tinggal di tenda-tenda, tidak punya kewarganegaraan. Tidak bisa kembali. Tidak punya masa depan. Anak-anak tumbuh dengan trauma, tanpa pendidikan, tanpa identitas.

Beberapa NGO mencoba masuk. Tapi bantuan yang datang lebih sering disaring oleh politik. Ada yang datang membawa makanan, tapi dilarang membawa Qur’an. Ada yang membangun tenda, tapi tidak boleh menyebut nama Djotodia.

Di balik itu semua, jurnalis-jurnalis diam-diam terus bekerja. Mereka yang tidak bisa pulang. Yang memilih hidup dalam bayang-bayang untuk menjaga apa yang mereka tahu tetap hidup. Termasuk wartawan asal Indonesia tadi. Ia menulis blog receh. Kirim foto-foto. Kirim data ke PBB. Dan terus mencatat sejarah yang dunia ingin hapus.

Afrika Tengah adalah luka. Tapi juga pelajaran. Bahwa demokrasi bukan jaminan keselamatan. Bahwa kemenangan dalam pemilu bisa diubah menjadi vonis mati.

Dan Michel Djotodia, dalam segala kekurangannya, adalah pemimpin yang menyerahkan kekuasaan demi menghentikan darah. Tapi darah tak mau berhenti. Karena kekuasaan bukan untuk damai. Kekuasaan, jika berada di tangan yang salah, adalah alat pemusnahan yang paling sah.

***

Posting Komentar

0 Komentar