Oleh Mahar Prastowo
Bagian 3: Ia tak punya nama di poster-poster penghargaan jurnalistik. Tak pernah diundang dalam seminar HAM internasional. Tapi tanpa dia, dunia mungkin tak pernah tahu bahwa di sebuah negeri kecil bernama Afrika Tengah, terjadi genosida di abad ke-21.
Saya menyebutnya sebagai “jurnalis bayangan”.
Wartawan asal Indonesia ini datang ke Afrika Tengah pada awal 2014. Saat itu ia belum lama meninggalkan profesinya sebagai wartawan kriminal di Jakarta. Kehidupan di balik garis polisi di ibukota membuatnya kebal darah dan air mata. Tapi ia tidak siap dengan apa yang dilihatnya di Bangui.
Hari pertama ia mendarat, malamnya sudah dibakar. Bukan metafora. Asrama pengungsi yang ia datangi diserbu. Delapan orang dibakar hidup-hidup. Ia selamat karena menyamar sebagai pengungsi muslim dari Mali.
Namanya disamarkan di dokumen investigasi. Wajahnya disensor dalam film dokumenter produksi Rusia yang merekam ulang kekejaman itu. Tapi rekaman aslinya—diambil dengan kamera saku dan drone kecil rakitan—menjadi barang bukti paling sahih dalam penyelidikan internasional.
Di sebuah desa di Ouaka, ia merekam 42 jasad yang dikubur massal, sebagian besar anak-anak dan perempuan. Di timur, ia mengikuti rombongan pengungsi berjalan 83 km tanpa makanan. Di perbatasan Kamerun, ia menyamar jadi relawan medis untuk bisa mencatat data pengungsi secara diam-diam.
Tak satu pun media besar Indonesia menyiarkan ceritanya. Terlalu sensitif, kata redaktur. Tapi ia terus menulis. Kirim laporan ke organisasi HAM di Eropa. Menyamar di forum-forum daring. Membocorkan bukti-bukti pembantaian ke lembaga PBB. Kadang menggunakan nama Arab, kadang Latin, kadang anonim sama sekali.
Ia lebih percaya catatan sejarah daripada headline.
“Kalau tidak ada yang mencatat, mereka bisa bilang ini tidak pernah terjadi,” katanya saat saya berbincang melalui koneksi terenkripsi dari Eropa, entah betulan atau alamat palsu, tempat ia katanya tinggal. “Saya tak bisa selamatkan mereka. Tapi saya bisa selamatkan cerita mereka.”
Bukan Pahlawan, Hanya Saksi
Ia tidak ingin dipanggil pahlawan. Ia juga tidak ingin kembali ke Indonesia—takut dikenal. Karena sejak film dokumenter tentang Afrika Tengah tayang, beberapa nama wartawan dalam daftar target kelompok ekstrem mulai muncul. Termasuk “jurnalis Asia” yang disebut dalam film itu.
Tapi di kamp-kamp pengungsi, ia disebut-sebut sebagai “orang Indonesia yang membawa kamera seperti pistol”. Ia mengabadikan bukan untuk viral, tapi untuk pengadilan.
Di era saat jurnalisme banyak dipakai untuk membuat sensasi, ia memilih sebaliknya. Membuat diam menjadi senjata.
Ia membuktikan: kadang suara yang paling lantang berasal dari yang tak bersuara.
0 Komentar