Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Makam Qur’an, Rumah yang Tak Bisa Pulang (5)


 

Oleh Mahar Prastowo

Bagian 5: Di Dusun Gaga, Ouaka, terdapat puing rumah ibadah yang tidak dibangun kembali. Bekas mushalla berdinding lumpur itu kini ditumbuhi rumput liar, bekas sajadah hangus masih tertempel di lantai tanah liat, dan di pojoknya tertimbun seikat mushaf Qur’an yang hangus separuh. Di sanalah, lima orang remaja terakhir dibakar hidup-hidup oleh laskar yang mengaku membawa salib.

Mereka dibakar bersama mushalla, saat bersembunyi dari kejaran. Bukan karena mereka melakukan kejahatan. Tapi karena mereka muslim.

Sejak saat itu, warga tidak berani kembali. Rumah-rumah dijarah, kebun dirampas. Bahkan anjing-anjing yang dulunya jinak berubah buas setelah berbulan-bulan makan mayat. Bagi sebagian besar pengungsi, tidak ada lagi rumah yang bisa dipulangkan.

Yang tertinggal hanyalah tempat-tempat sakral yang kini menjadi makam tanpa nama: makam Qur’an, makam adzan, makam sejarah.


---

Pulang Hanya Dalam Doa

Di kamp pengungsian dekat Garoua-Boulaï, Kamerun, saya bertemu Nawal. Ia masih membawa kunci rumahnya yang terbakar. “Supaya saya tidak lupa kalau saya dulu punya rumah,” katanya.

Anaknya lahir di kamp. Suaminya hilang ketika mencoba kembali ke desa mereka di Bangassou untuk mengambil dokumen. “Kata tetangga, dia disalibkan. Diikat di kayu dan ditinggalkan,” ucapnya lirih.

Kebanyakan pengungsi tidak ingin kembali. Tapi mereka juga tidak diterima di negeri tetangga. Mereka seperti kertas identitas yang hangus. Tidak bisa dikembalikan, tidak bisa disahkan. Hanya hidup dari bantuan dan azab yang terus ditangguhkan.

“Dulu kami punya dusun, sekolah, masjid, sawah,” ujar Muhammad Yusuf, mantan guru agama di Kaga Bandoro. “Sekarang kami cuma punya doa.”


---

Yang Tidak Dibakar, Diubah

Beberapa masjid yang tidak dibakar, kini telah diubah menjadi gereja darurat atau markas milisi. Mimbar khutbah menjadi podium pidato komandan lokal. Wudhu diganti senjata. Tempat sujud digantikan oleh perintah untuk membunuh.

Pemandangan ini membuat banyak eksodus menjadi permanen. Bukan hanya rumah fisik yang hilang. Tapi juga rumah spiritual. Tempat-tempat yang menjadi penanda identitas kini tak bisa dikenali.

Apa yang lebih menyakitkan dari kehilangan rumah? Menyaksikan rumahmu dipakai untuk merencanakan kematian saudaramu.


---

Ingatan yang Dikepung Diam

Bagi dunia luar, tragedi Afrika Tengah tinggal laporan tahunan. Tapi bagi penyintas, ia adalah trauma harian. Setiap malam di kamp-kamp pengungsi, anak-anak bermimpi diseret. Perempuan menggigil tiap mendengar suara sepatu bot. Laki-laki tak berani menyebut nama-nama yang mereka cintai karena takut akan menjadi sasaran.

Dan di antara reruntuhan Qur’an dan papan nama masjid yang dicabut paksa, ada ribuan nama yang tidak tercatat, tidak disebut, dan akhirnya terlupakan.

Mereka yang dibunuh dua kali: oleh peluru dan oleh sunyi.



Posting Komentar

0 Komentar