Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Pengadilan, yang Tak Pernah Datang (4)

 


Oleh Mahar Prastowo

Bagian 4: Darah telah kering. Reruntuhan masjid telah ditumbuhi ilalang. Kamp-kamp pengungsi perlahan berubah menjadi permukiman permanen. Tapi pengadilan, seperti janji yang ditinggalkan dalam doa-doa subuh, tak pernah datang.

Pasca serah terima kekuasaan dari Djotodia ke Catherine Samba-Panza, komunitas internasional berjanji: akan ada keadilan. Akan dibentuk tim investigasi, akan disidangkan para pelaku, dan akan diberi kompensasi bagi korban. Tapi tahun berganti, dan yang datang justru peluru-peluru baru.

PBB membuat laporan. Uni Eropa mengeluarkan pernyataan. Perancis mengirim pasukan—bukan untuk membawa pelaku ke pengadilan, tapi untuk melindungi pemerintahan transisi yang mereka dukung.

Kekuasaan berubah, tapi pelaku pembantaian tidak ditangkap. Banyak di antara mereka justru diangkat menjadi komandan lokal, pemimpin milisi baru, atau dijadikan "mitra stabilisasi" oleh pasukan asing. Seorang tokoh milisi yang diketahui memerintahkan pembakaran Qur'an dan pemenggalan imam di daerah Boda kini malah menjadi pejabat di pemerintahan lokal.

“Dalam situasi seperti ini, keadilan bukan prioritas. Stabilitas, ya. Investasi, ya. Tapi bukan keadilan,” kata seorang pengamat politik Afrika Tengah yang tak ingin disebutkan namanya.

Pengadilan Internasional di Den Haag? Hanya mencatat. Belum ada satu pun terdakwa yang diadili secara sah untuk genosida terhadap Muslim Afrika Tengah.

---

Makam Tanpa Nama, Anak-anak Tanpa Kelahiran

Di pinggir kota Bangui, ada lahan sempit yang dikenal sebagai Makam Anonim. Di sana terkubur sekitar 2.000 jasad tanpa nama. Sebagian besar adalah korban pembantaian antara 2013 hingga 2015. Tidak ada papan nama, tidak ada batu nisan, tidak ada surat kematian.

Sebagian besar korban bahkan tak pernah tercatat sebagai warga negara. Anak-anak lahir di kamp, meninggal di tengah lari, dikuburkan di tengah malam. Tidak pernah masuk data sipil, tidak pernah diakui negara.

Dalam pengertian birokrasi modern, mereka tidak pernah ada.

Dan karena “tidak ada”, maka hukum pun tak pernah datang untuk mereka. Tak bisa diusut, tak bisa dimintakan keadilan. Seakan pembantaian terhadap mereka adalah kehampaan yang sah secara administratif.

Mereka dikuburkan dua kali. Pertama secara fisik. Kedua secara sejarah.

---

Janji yang Tak Pernah Ditepati

Catherine Samba-Panza, presiden transisi pertama wanita yang disanjung Barat, berpidato soal demokrasi dan rekonsiliasi. Tapi selama ia berkuasa, tak satu pun pengadilan HAM berjalan. Para penyintas yang bersaksi justru diancam dan dilabeli sebagai “pembohong” atau “provokator”.

“Waktu itu saya harap, setelah Djotodia turun, pembantaian akan berhenti,” kata Fatima, perempuan pengungsi yang selamat setelah anaknya dibunuh di depan matanya. “Tapi ternyata tidak. Yang berubah hanya bendera. Pisau tetap sama.”

---

Djotodia kini hidup dalam pengasingan politik. Dituduh Barat sebagai panglima pemberontak yang menggunakan anak-anak, padahal dokumentasi membuktikan sebagian besar kekejaman justru dilakukan oleh kelompok lawan yang didukung asing. Tapi sejarah sedang ditulis oleh mereka yang menang. Dan dalam versi mereka, Djotodia hanya tokoh gelap.

Sementara itu, Muslim Afrika Tengah terus terusir, tercerai, dan terlupa.
Dan pengadilan, tetap tidak datang.



Posting Komentar

0 Komentar