Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Surat dari Kamp: Kami Pernah Ada (6)

Tadarus selembar Al-Qur'an yang masih tersisa


 

Oleh Mahar Prastowo


Bagian 6: Tak ada amplop, tak ada prangko. Tapi surat ini tetap dikirim. Dengan airmata, dengan batu-batu di tanah, dan dengan huruf yang disalin di dinding tenda. Inilah surat dari mereka yang tak bisa pulang, kepada dunia yang memilih berpaling.


Kami pernah ada. Kami pernah bangun pagi dengan takbir. Menanam jagung. Menggiling padi. Mengajar anak-anak Qur’an. Kami punya rumah dan harapan. Kami tidak minta banyak. Tapi kemudian kalian datang. Kalian membawa senjata, lalu membawa diam. Lalu pergi begitu saja, membiarkan kami terbakar.”


Di Antara Lipatan Kisah, Ada Wartawan

Di tahun-tahun kelam itu, tak banyak yang berani masuk ke dalam zona pembantaian. Seorang wartawan Rusia, Andrei Stenin, merekam kekacauan itu sebelum ia sendiri ditemukan tewas dalam baku tembak di Ukraina. Film dokumenter kemudian dibuat untuk mengenangnya.

Tapi ada satu nama yang tak muncul dalam kredit film. Seorang jurnalis perang, masih hidup, masih menyimpan catatan-catatan yang tak pernah dipublikasikan. Karena jika ia disebut, nyawanya bisa terancam. Ia berasal dari Indonesia.

Dialah yang sempat lolos dari sergapan pasukan tak dikenal di dekat Bria. Yang diam-diam mengangkat kamera untuk merekam mushalla yang dibakar. Yang menolong seorang ibu tua melarikan diri sambil memanggul dua Qur’an gosong di kain sarungnya. Yang kini menulis dalam sunyi, demi mereka yang tak bisa lagi menulis sendiri.


Kami Tidak Butuh Belas Kasihan. Kami Butuh Ingatan

Itu kalimat terakhir dari surat di dinding tenda. Tulisannya mulai pudar. Tapi maknanya seperti arang di bara: tetap menyala.

Warga Muslim Afrika Tengah yang tersisa kini tersebar—di hutan, di kamp, di negeri asing. Banyak yang mengganti nama demi selamat. Banyak yang tidak pernah lagi bisa menulis “Islam” di kolom agama. Tapi mereka masih hidup. Masih ingat. Masih menunggu dunia menoleh.

“Jika kamu tak bisa bantu kami pulang, setidaknya bantu kami dikenang,” kata Jamila, pengungsi dari Bambari.


Epilog: Saat Api Padam, Apakah Kita Masih Bisa Menulis Sejarahnya?

Djotodia sudah lama menyerahkan kekuasaan. Tapi sejarah belum selesai ditulis. Masih banyak halaman kosong—karena saksi dibungkam, karena pembunuhnya kini memerintah, dan karena dunia lebih sibuk bicara soal "demokrasi" daripada soal kebenaran.


Kami pernah ada.

Itulah kalimat yang ingin mereka tinggalkan untuk dunia.

Dan dalam tulisan ini, kita mengukirnya. Agar tak padam. Agar tak lenyap. Agar nama-nama mereka tetap hidup, meski hanya di hati yang tak ikut membakar.


***


Posting Komentar

0 Komentar