Header Ads Widget

Header Ads

A+

6/recent/ticker-posts

Desersi dari Baret Ungu ke Salju Ukraina. Apa yang Kau Cari, Satria?

Hanya ilustrasi, jangan baper.

Oleh: Mahar Prastowo

Saya tertegun. Nama Satria Arta Kumbara muncul di beranda media sosial, berseragam militer Rusia. Saya ulangi: militer Rusia.

Foto itu diambil entah di mana. Yang jelas, bukan di Surabaya, bukan pula di markas Kodikmar Cilandak tempat para Marinir TNI AL digembleng. Latar belakangnya hutan belantara—semak belukar mirip zona perbatasan Donbas atau Kharkiv. Tapi yang menarik bukan latarnya. Melainkan sosoknya.

Satria. Nama yang gagah. Arta. Bermakna harta atau nilai. Kumbara? Kedengaran seperti kisah lama dari tanah Jawa: pewayangan atau kisah raja pengembara. Tapi ini bukan tokoh cerita. Ini nyata. Seorang Serda (Sersan Dua) Marinir TNI AL, yang kini viral karena disebut gabung pasukan Rusia dalam operasi militer khusus ke Ukraina.

Waktu saya mendengar kabar itu, saya tidak buru-buru percaya. Saya lebih percaya pada logika militer: prajurit yang kabur dari kesatuan tidak mungkin menjadi duta keberanian di luar negeri. Tapi tampaknya, logika itu sudah usang.


Desersi: Kepergian Tanpa Salam Hormat

Dalam dunia militer, tidak ada dosa lebih besar daripada meninggalkan tugas. Namanya desersi. Hukumannya: pidana, pemecatan, dan stigma seumur hidup.

Menurut Dinas Penerangan TNI AL, Satria desersi sejak 13 Juni 2022. Berarti sudah hampir tiga tahun dia tidak kembali ke barak. Tidak menyapa komandannya. Tidak memberi tahu kawannya. Dan tidak menatap kembali baret ungu yang dulu pernah dia banggakan.

Dia bahkan dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh Pengadilan Militer II-08 Jakarta. Putusannya in absentia. Artinya: dia bahkan tidak hadir di ruang sidang saat dijatuhi hukuman.

Pertanyaannya: ke mana dia pergi selama itu?


Dari Ambarawa ke Moskwa

Saya menelusuri jejak digital Satria. Di LinkedIn, dia menulis seperti layaknya eks militer profesional dunia: bisa mengoperasikan semua jenis senjata, bisa menyelam, bisa mengelas, bisa menyetir truk tempur, bisa hidup di kondisi ekstrem.

Dia lulusan SMK Ambarawa. Lalu ikut pendidikan Marinir sejak 2007. Artinya, dia lebih dari satu dekade jadi prajurit sebelum memutuskan pergi.

Apakah karena frustrasi? Masalah keluarga? Atau memang sejak awal dia punya impian besar: menjadi tentara bayaran?

Kalau jawabannya adalah opsi terakhir, saya harus menghela napas dalam.


Tentara Bayaran atau Pejuang Ideologi?

Orang-orang menyebut dia tentara bayaran. Tapi saya bertanya-tanya: apa benar ini cuma soal uang?

Militer Rusia tidak dikenal murah hati. Bahkan gaji tentara reguler mereka sering terlambat dibayar. Jika Satria ingin uang, ada banyak ladang minyak di Timur Tengah, ada banyak perusahaan keamanan swasta di Afrika, ada banyak kontraktor di laut lepas.

Tapi dia memilih Rusia. Negara yang sedang dikucilkan dunia. Negara yang sedang berperang di medan paling brutal Eropa abad ini. Negara yang bahkan tidak mengakui eksistensi tentara bayaran secara resmi.

Mungkin, Satria tidak lagi ingin dihormati sebagai mantan Marinir. Mungkin dia ingin dikenal sebagai petarung global. Atau justru: dia tidak peduli lagi dengan pengakuan.


Tentara Dunia Tanpa Negara

Fenomena ini bukan baru. Dulu, saat ISIS berkuasa di Suriah dan Irak, banyak anak muda Indonesia yang tergiur ikut berjuang. Lalu mati di padang pasir yang bahkan tak bisa mereka sebutkan di peta.

Kini, Rusia menjadi magnet baru. Bukan karena ideologi, tapi karena romantisme peperangan. Karena seragam. Karena senjata. Karena video-video heroik di TikTok.

Maka kita dapat Satria. Yang dulu dilantik di tengah upacara khidmat ala Baret Ungu. Kini, muncul di media sosial dengan caption bombastis: “Dulu Marinir. Sekarang Rusia.”


Negara Ditinggal, Dunia Disambut?

Ini pukulan telak bagi militer Indonesia. Bukan karena satu prajurit pergi. Tapi karena narasinya berubah.

Dulu, desersi adalah aib. Kini, bisa jadi pintu menuju panggung internasional. Dulu, kabur dari tugas adalah kutukan. Kini, bisa jadi tiket ke medan perang dengan sorotan kamera dan follower.

Tapi, satu hal yang belum bisa diberikan oleh dunia kepada Satria: kehormatan.

Karena kehormatan, tidak datang dari foto viral. Tidak lahir dari caption penuh sensasi. Kehormatan lahir dari pengabdian, dari setia dalam diam, dari tugas yang dituntaskan meski tanpa sorotan kamera.

Saya tidak tahu bagaimana akhir kisah Satria Arta Kumbara. Mungkin dia mati di ladang Ukraina. Mungkin pulang ke Indonesia diam-diam. Atau mungkin menetap di Rusia dan menjadi instruktur.

Tapi satu hal yang pasti: dia bukan lagi bagian dari kita.

Dia bukan sekadar eks Marinir. Dia kini simbol dari zaman baru: ketika loyalitas bisa dibarter dengan likes, ketika seragam bisa diganti seperti kostum cosplay, dan ketika desersi bisa viral seperti dance challenge.

Dan kita, bangsa ini, harus bersiap menghadapi kenyataan itu.

Bukan dengan marah. Tapi dengan sadar: perang hari ini bukan hanya di medan tempur, tapi juga di medan narasi.

Dan kita sedang kalah satu babak.


___
Tulisan ini bukan untuk membela Satria. Tapi untuk mengingatkan kita: jangan sampai negara kehilangan lebih banyak satria hanya karena tidak bisa membaca perubahan zaman.


Artikel ini juga tayang di SINI

Posting Komentar

0 Komentar